Sistem Imun = ‘Pagar Betis’ Tubuh Kita

0 comments Thursday, July 30, 2009

Sistem Imun

Secara istilah sistem imun dapat diartikan sebagai sistem kompleks komponen selular dan molekular yang memiliki fungsi primer membedakan self dan not self dan pertahanan melawan zat atau organisme asing (Dorland 2002). Sistem pertahanan ini terdiri atas sistem imun nonspesifik (natural/innate) dan spesifik (adaptive/aquired) (Baratawidjaja, KG & Iris R, 2007).
Sistem imun non spesifik yang beraksi tanpa memandang apakah agen pencetus pernah atau belum pernah dijumpai adalah peradangan, interferon, sel natural killer, dan sistem komplemen (Sherwood, L, 2001). Sedangkan sistem imun spesifik yang mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya terdiri dari sistem imun spesifik humoral dan seluler (Baratawidjaja, KG & Iris R, 2007).
Sistem imun spesifik humoral merupakan fungsi sel B yang ditandai dengan perubahan sel B menjadi sel-sel plasma, yang menyekresikan imunoglobulin (antibodi) yang memiliki aktivitas spesifik terhadap antigen penyerang (Candrasoma & Taylor, 2005). Terdapat lima golongan umum antibodi, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE (Guyton & Hall, 1997).

Menurut Sherwood, L (2001) fungsi dari masing-masing antibodi tersebut adalah:

• IgM: sebagai reseptor permukaan sel B untuk tempat antigen melekat dan disekresikan dalam tahap awal respons sel plasma.
• IgG: paling banyak dalam darah, bertanggung jawab bagi sebagian besar respons imun spesifik.terhadap bakteri dan beberapa jenis virus.
• IgE: mediator antibodi untuk respons alergi.
• IgA: ditemukan dalam sekresi sistem pencernaan, pernapasan, dan genitourinaria, serta di dalam air susu dan air mata.
• IgD: fungsinya belum jelas.
Sel pembuat imunoglobulin hanya dapat membuat satu macam Ig pada suatu waktu. Bila 2 macam antigen A dan B masuk ke dalam badan maka sebagian limfosit akan membuat anti-A dan sebagian limfosit lain membuat anti-B, dan tidak ada limfosit yang membuat kedua macam antibodi sekaligus (Staf Pengajar FKUI, 1994).
Sebagian kecil limfosit B berubah menjadi sel pengingat (memory cell), yang tidak ikut serta dalam respons imun yang sedang berlangsung, tetapi tetap dorman dan memperluas klon spesifiknya. Jika orang yang bersangkutan kembali bertemu dengan antigen yang sama, sel-sel pengingat ini sudah bersiap untuk melakukan tindakan yang lebih cepat daripada limfosit awal dalam klon (Sherwood, L, 2001).
Sistem imun spesifik seluler adalah fungsi sel limfosit T (Candrasoma & Taylor, 2005). Beberapa hari setelah pajanan ke antigen tertentu, sel T teraktivasi bersiap untuk melancarkan serangan imun seluler. Terdapat tiga subpopulasi sel T, yaitu: sel T sitotoksik (menghancurkan sel pejamu yang memiliki antigen asing), sel T penolong (meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi sel plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag), dan sel T penekan (menekan produksi antibodi sel B dan aktivitas sel T sitotoksik dan penolong. Sebagian kecil sel T tetap dorman, berfungsi sebagai cadangan sel T pengingat yang siap berespons secara lebih cepat dan kuat apabila antigen asing tersebut muncul kembali di sel tubuh pejamu (Sherwood, L, 2001).

Respons Imun


Respons imun adalah setiap respons sistem imun terhadap stimulus antigenik (Dorland 2002). Respons imun menjalankan fungsi: pertahanan (defence), homeostasis dan pengawasan (surveillance). Fungsi pertama berupa pertahanan melawan invasi mikroorganisme.


















Fungsi
homeostasis memelihara fungsi degenerasi dan katabolik normal dari isi tubuh dengan pembersihan elemen sel yang rusak. Fungsi pengawasan memonitor pengenalan jenis sel abnormal yang secara tetap selalu timbul dalam badan (Bellanti, JA, 1993). Menurut Dorland (2002), respons imun dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Respons imun primer: terjadi pada pajanan pertama dengan antigen. Setelah suatu periode laten atau lag period selama 3-14 hari, bergantung pada antigen, antibodi spesifik akan muncul di dalam darah. Terdapat puncak produksi IgM yang akan bertahan selama beberapa hari yang kemudian segera disusul oleh puncak produksi IgG. Produksi antibodi berkurang dalam beberapa minggu, tetapi sel memori tetap bertahan dalam sirkulasi.
Respons imun sekunder: terjadi pada pajanan kedua dengan antigen serta pajanan selanjutnya. Lag period lebih singkat, puncak titer antibodi lebih tinggi dan bertahan lebih lama, produksi utama adalah IgG.


Link terkait:
Munculnya Kembali Campak Setelah Divaksinasi (Kasus)
Munculnya Campak dan Efek Samping pada Anak yang Telah Divaksinasi Campak


DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, KG, 2006, Imunologi Dasar, Edisi ketujuh, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
_______________ & Iris R, 2007, Imunologi Dasar, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2007, Jilid II, Edisi ketiga, Editor Kepala: Aru W. Sudoyo et.al., Pusat Penerbitan IPD FKUI, Jakarta.
Bellanti, JA, 1993, Immunology III, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Chandrasoma, Parakrama & Clive R. Taylor, 2005, Patologi Anatomi, Edisi 2, Alih bahasa: Roem Soedoko et al., EGC, Jakarta.
Dorland, W.A. Newman, 2002, Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29, trans. Huriawati Hartanto, EGC, Jakarta.
Guyton, Arthur C. & John E. Hall, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Editor: Irawati Setiawan, EGC, Jakarta.
Immunise Australia Program, 2006, Tanya Jawab (T&J) tentang Vaksinasi Campak, Gondok & Rubela, NSW Health, dilihat 4 April 2009, www.health.nsw.gov.au/resources/publichealth/immunisation/mmr/mmr_immunisation_consent_ind.pdf
Sherwood, L, 2001, Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem, Edisi 2, Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Editor: Beatricia I. Santoso, EGC, Jakarta.
Kresno, Siti Boedina, 2001, Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta.
Staf Pengajar FKUI, 1994, Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran, Edisi revisi, Binarupa Aksara, Jakarta.
Winulyo EB & Samsuridjal D, 2007, Imunisasi Dewasa, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2007, Jilid II, Edisi ketiga, Editor Kepala: Aru W. Sudoyo et.al., Pusat Penerbitan IPD FKUI, Jakarta.




Read On

Kelenjar Tiroid Penting untuk Tubuh Kita

0 comments

Anatomi dan Histologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid mulai kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh ismus dan menutupi cincin trakea 2 dan 3. kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar ke arah kranial. Pengaliran darah ke kelenjar berasal deri a. Tiroidea Seperior (cabang a. Karotis Ekstrena) dan a. Tiroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Ternyata setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikuler (Noer (eds.) 1996, h. 725).
Kelenjar tiroid terdiri atas banyak sekali folikel-folikel yang tertutup yang dipenuhi dengan bahan sekretorik yang disebut koloid dan dibatasi oleh sel epitel kuboid yang mengeluarkan hormonnya ke bagian folikel itu. Unsur utama dari koloid adalah glikoprotein tiroglobulin besar, yang mengandung hormon tiroid di dalam molekuul-molekulnya (Guyton & Hall 1997, h. 1187-1188).

Sekresi Hormon T3 dan T4 oleh Kelenjar Tiroid

Iodida yang ditelan secara oral akan diabsorbsi dari saluran cerna ke dalam darah dengan pola yang kira-kira mirip dengan klorida. (Guyton & Hall 1997, h. 1188). Menurut Noer (eds. 1996, h. 728-729).Melalui proses yang rumit, iodida yang ditangkap sel tiroid akan diubah menjadi hormon melalui beberapa tahapan, yaitu:
Tahap Trapping. Tahap pertama adalah pengangkutan iodida dari darah ke dalam sel-sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal sel tiroid memiliki kemampuan yang spesifik untuk memompakan iodida secara aktif ke bagian dalam sel. Kemampuan ini disebut penjeratan iodida (iodide trapping).
Tahap Oksidasi. Tahap ini mengubah ion iodida menjadi bentuk iodium yang teroksidasi, baik iodium awal (nascent iodine) (Io) atau I3-, yang selanjutnya mampu langsung berikatan dengan asam amino tirosin. Proses ini ditingkatkan oleh enzim peroksidase dan penyertanya hidrogen peroksidase, yang menyediakan suatu sistem yang kuat yang mampu mengoksidasi iodida. Iodium yang teroksidasi tersebut lalu ditempatkan di dalm sel tepat pada tempat molekul triglobulin mula-mula dikeluarkan dari alat Golgi dan kemudian melalui membran masuk ke dalam koloid penyimpanan.
Tahap Coupling. Iodium akan berikatan dengan kira-kira seperenam bagian dari asam amino tirosin yang ada di dalam molekul tiroglobulin. tirosin akan diiodinasi menjadi monoiodotirosin (MIT) dan selanjtunya menjadi diiodotirosin (DIT), dan semakin lama akan semakin banyak sisa diiodotirosin yang saling bergandengan (coupling) satu sama lain. Hasilnya, terbentuklah molekul tiroksin (T4) yang tetap merupakan bagian dari molekul tiroglobulin. Penggandengan satu molekul MIT dan satu molekul DIT akan membentuk triiodotironin (T3)(Guyton & Hall 1997, h. 1188-1189).
Tahap Penimbunan. Produk hormon tersebut kemudian disimpan di ekstraseluler yang disebut koloid. Hormon yang baru terbentuk akan disimpan dekat permukaan vili atau apeks koloid.
Tahap Deyodinasi. Yodotirosin yang tidak digunakan sebagai hormon akan mengalami deyodinasi menjadi tiroglobulin+residu+yodida kembali sehingga menghemat pemakaian unsur yodium.
Tahap Proteolisis. Atas pengaruh Thyroid Stimulating Hormone (TSH), terbentuk vesikel oleh ujung vili menjadi tetes koloid. Lisosom juga dipengaruhi mendekati tetes koloid ini, menggabung, sehingga terlepas secara bebas MIT, DIT, T3 dan T4 dari tiroglobulin oleh enzim hidrolitik lisosom tadi. Yodotirosin (MIT, DIT) akan dideyoninasi dan yodotirosin (T3, T4) dikeluarkan dari sel debagai hormon.
Tahap Pengeluaran Hormon dari Kelenjar Tiroid. Hormon ini melewati membran basal, fenestra sel kapiler, lalu ditangkap oleh pembawanya dalam sistem sirkulasi yaitu thyroid binding protein. Produksi sehari T4 kira-kira 80-100 µg sedangkan T3 26-39 µg (Noer (eds.) 1996, h. 729)

Mekanisme Umpan Balik Hormon Tiroid

Sekresi hormon tiroid ini diatur oleh suatu mekanisme umpan balik spesifik yang bekerja melalui hipotalamus dan kelenjar hipofisis anterior.
Salah satu rangsangan yang telah diketahui dengan baik adalah rasa dingin. Efek ini hampir selalu disebabkan oleh eksitasi pusat hipotalamus untuk pengaturan temperatur tubuh. Keadaan ini merangsang sekresi Thyrotrophin Releasing Hormone (TRH) yang kemudian melewati median eminence, tempat ia disimpan dan kemudian dikeluarkan lewat sistem hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis. Akibatnya, timbul stimulasi sekresi TSH (Tryroid Stimulating Hormone), yang merupakan salah satu hormon kelenjar hipofisis anterior. TSH yang masuk dalam sirkulasi akan mengikat reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-receptor-TSH-R) (Noer (eds.) 1996, h. 731).
Hal ini menyebabkan pengaktifan adenilsiklase yang ada di dalam membran, yang meningkatkan pembentukan cAMP di dalam sel. cAMP yang bekerja sebagai second messenger untuk mengaktifkan protein kinase, yang menyebabkan banyak fosforilasi di seluruh sel. Akibatnya segera timbul peningkatan sekresi hormon tiroid dan perpanjangan waktu pertumbuhan jaringan kelenjar tiroidnya sendiri (Guyton & Hall 1997, h. 1195).
Kedua hormon tiroid (T3 dan T4) memiliki efek umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebaslah yang berperan dan bukannya hormon yang terikat. T3 di samping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TRH (Noer (eds.) 1996, h. 731).


Metabolisme Hormon Tiroid


Sewaktu memasuki darah, semua tiroksin dan triiodotironin kecuali 1 persennya, segera berikatan dengan protein plasma, terutama globulin pengikat-tiroksin. Sewaktu memasuki sel, kedua hormon ini berikatan dengan protein intraseluler. Kerja triiodotironin timbul kira-kira empat kali lebih cepat daripada kerja tiroksin, namun tiroksin yang memiliki afinitas dengan protein pengikat-plasma maupun dengan protein intraseluler yang lebih tinggi daripada triiodotironin (Guyton & Hall 1997, h. 1190).
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monoydeyodinasi menjadi T3. jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan (konversi) ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung, dan hipofisis. Dalam proses ini terbentuk juga rT3 yang secara metabolik tidak aktif (Noer (eds.) 1996, h. 730).

Efek umum dari hormon tiroid adalah menyebabkan transkripsi inti dari sejumlah besar gen. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam semua sel tubuh, sejumlah besar enzim protein transpor, dan zat lainnya akan meningkat. Hasil akhir dari semuanya ini adalh peningkatan menyeluruh aktivitas fungsional di seluruh tubuh (Guyton & Hall 1997, h. 1191). Menurut Noer (eds. 1996, h. 730),.efek metabolik hormon ini antara lain adalah:
1. Kalorigenik. Hormon ini dapat berefek kalorigenik, yaitu menghasilkan panas atau energi (Dorland 2002, h. 328). Hal ini terjadi karena hormon tiroid menyebabkan membran sel dari sebagian besar sel menjadi mudah dilewati oleh ion natrium, yang selanjutnya akan mengaktifkan pompa natrium dan lebih jauh lagi meningkatkan pembentukan panas.
2. Termoregulasi. Hormon ini menjadi regulator panas untuk pemeliharaan suhu tubuh
3. Metabolisme protein. Pemberian hormon tiroid menyebabkan ukuran maupun jumlah mitokondria sebagian besar sel tubuh meningkat. Selanjutnya tiroid meningkatkan kecepatan pembentukan adenosin trifosfat (ATP) untuk membangkitkan fungsi seluler. Akibatnya sintesis protein juga akan meningkat.
4. Metabolisme karbohidrat. Hormon tiroid merangsang metabolisme karbohidrat, temasuk penggunaan glukosa yang cepat oleh sel, meningkatkan glikolisis, glukogenesis, kecepatan absorbsi saluran cerna, dan sekresi insulin.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat metabolisme kolesterol dan lemak.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid.
7. Hormon ini penting untuk pertumbuhan saraf otak dan perifer, khususnya 3 tahun pertama kehidupan.
8. Lain-lain: gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering terjadi diare, gangguan faal hati, anemia defisiensi Fe dan hipertiroidisme.
9. Berperan dalam sintesis gonadotropin, hormon pertumbuhan, reseptor beta adregenik.
Hormon tiroid juga menyebabkan efek pada sistem kardiovaskular, berupa peningkatan aliran darah dan curah jantung, frekuensi dan kekuatan denyut jantung, volume darah, dan tekanan arteri. Hormon ini juga berperan dalam peningkatan respirasi, nafsu makan, kecepatan berpikir, menyebabkan otot bereaksi dengan kuat, tremor otot, dan lain-lain (Guyton & Hall 1997, h. 1193-1194).

Link terkait:
Wanita Cantik Bergondok (kasus)
Struma sebagai Manifestasi Klinis dari Hipertiroidisme


DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 1996, Jilid I, Edisi ketiga, Editor Kepala: Sjaifoellah Noer, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Dorland, W.A. Newman, 2002, Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29, trans. Huriawati Hartanto, EGC, Jakarta.
Guyton, Arthur C. & John E. Hall, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Editor: Irawati Setiawan, EGC, Jakarta.
Mansjoer et al., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, cetakan 1, Media Aesculapius, Jakarta.
Price, Sylvia Anderson & Lorraine McCarty Wilson, 1991, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Edisi 2, Alih bahasa: Adji Dharma, EGC, Jakarta.
Rubenstein, David, David Wayne & John Bradley, 2007, Lecture Notes: Kedokteran Klinis, Edisi 6, trans. Annisa Rahmalia, Erlangga, Surabaya.




Read On

Struma sebagai Manifestasi Klinis dari Hipertiroidisme

0 comments

Mekanisme yang berjalan di dalam tubuh manusia tersebut diatur oleh dua sistem pengatur utama, yaitu: sistem saraf dan sistem hormonal atau sistem endokrin (Guyton & Hall 1997, h. 1159). Pada umumnya, sistem saraf ini mengatur aktivitas tubuh yang cepat, misalnya kontraksi otot, perubahan viseral yang berlangsung dengan cepat, dan bahkan juga kecepatan sekresi beberapa kelenjar endokrin (Guyton & Hall 1997, h. 703).

Sedangkan, sistem hormonal terutama berkaitan dengan pengaturan berbagai fungsi metabolisme tubuh, seperti pengaturan kecepatan rekasi kimia di dalam sel atau pengangkutan bahan-bahan melewati membran sel atau aspek lain dari metabolisme sel seperti pertumbuhan dan sekresi (Guyton & Hall 1997, h. 1159). Hormon tersebut dikeluarkan oleh sistem kelenjar atau struktur lain yang disebut sistem endokrin (Dorland 2002, h. 2162).

Salah satu kelenjar yang mensekresi hormon yang sangat berperan dalam metabolisme tubuh manusia adalah kelenjar tiroid. Dalam pembentukan hormon tiroid tersebut dibutuhkan persediaan unsur yodium yang cukup dan berkesinambungan. Penurunan total sekresi tiroid biasanya menyebabkan penurunan kecepatan metabolisme basal kira-kira 40 sampai 50 persen di bawah normal, dan bila kelebihan sekresi hormon tiroid sangat hebat dapat menyebabkan naiknya kecepatan metabolisme basal sampai setinggi 60 sampai 100 persen di atas normal (Guyton & Hall 1997, h. 1187). Keadaan ini dapat timbul secara spontan maupun sebagai akibat pemasukan hormon tiroid yang berlebihan (Price & Wilson 1991, h. 337-338).

Dalam hal ini, diperlukan pengenalan akan aspek kerja hormonal yang bersifat umum dan pemahaman tentang efek fisiologik serta biokimiawi hormon yang terkait sehingga memudahkan kita untuk mengenali penyakit endokrin yang terjadi karena gangguan keseimbangan hormonal dan mampu menerapkan terapi yang efektif.

Hipertiroidisme dan Hipotiroidisme
Hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respon jaringan-jaringan terhadap pengaruh metabolik terhadap hormon tiroid yang berlebihan (Price & Wilson 1991, h. 337). Gambaran klinisnya timbul akibat kelebihan hormon tiroid (T4 dan/atau T3). Sedangkan hipotiroidisme adalah kadar hormon tiroid di sirkulasi rendah, baik dalam bentuk T4 maupun T3 (Rubenstein, Wayne & Bradley 2007, h. 162-164).
Penyebab hipertiroidisme bermacam-macam (Tabel 1). Penyakit Graves adalah bentuk hipertiroidisme yang paling umum dengan tanda pada mata dan gejala-gejala toksik yang menyertai suatu pembesaran difus kelenjar tiroid (wanita : pria = 5 : 1) dengan antibodi dan kadang-kadang miksedema pretibia (Rubenstein, Wayne & Bradley 2007, h. 162).
Manifestasi klinis yang paling sering adalah penurunan berat badan, kelelahan, tremor, gugup, berkeringat banyak, tidak tahan panas, palpitasi, dan pembesaran tiroid (Tabel 2) (Mansjoer et al. 2000, h. 594).

Grave Disease

Hipertiroidisme pada penyakit Grave adalah akibat antibodi reseptor TSH yang merangsang aktivitas tiroid (Noer (eds.) 1996, h. 767). Pada penyakit Grave terdapat gambaran utama, tiroidal dan ekastratiroidal, dan keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter, diakibatkan oleh hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme yang diakibatkan karena sekresi hormon yang berlebihan. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.
Jaringan orbita, dan otot-otot mata diinfiltrasi oleh limfosit, mata sel dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoftalmus (proptosis bola mata: bola mata menonjol keluar), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler.

Diagnosis
Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis (Mansjoer et al. 2000, h. 595).
Pemeriksaan yang banyak dilakukan adalah untuk mengetahui etiologi kelainan tiroid adalah penentuan antibodi antitiroid, yaitu untuk menegakkan diagnosis penyakit tiroid autoimun. Pemeriksaan lainnya berkaitan dengan patofisiologi kelainan yang terjadi (Tabel 3) (Noer (eds.) 1996, h. 734). Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan TSH sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas subnormal dan free T4 (fT4) meningkat (Mansjoer et al. 2000, h. 595).

Penatalaksanaan Grave Disease
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal) (Noer (eds.) 1996, h. 770).
1. Obat antitiroid
Digunakan dengan indikasi:
a. Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap, pada pasien muda edngan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis.
b. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium radioaktif.
c. Persiapan tiroidektomi.
d. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia.
e. Pasien dengan krisis tiroid.
Obat antitiroid yang sering digunakan adalah karbimazol, metimazol dan propiltiourasil. Ketiga obat ini mempunyai kerja imunosupresif dan dapat menurunka konsentrasi TSH antibody yang bekerja pada sel tiroid.
2. Pengobatan dengan yodium radioaktif
Digunakan dengan indikasi:
a. Pasien umur 35 tahun atau lebih.
b. Hipertiroidisme yang kambuh sesudah operasi.
c. Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid.
d. Tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan obat antitiroid.
e. Adenoma toksik, goiter multinoduler.
Efek samping adalah hipotiroidisme, eksaserbasi hipertiroidisme, dan tiroiditis.
3. Operasi
Digunakan dengan indikasi:
a. Pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap obat antitiroid.
b. Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukkan obat antitiroid dosis besar.
c. Alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium radioaktif.
d. Adenoma toksik atau struma multinodular toksik.
e. Pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.
4. Pengobatan tambahan.
a. Sekat β adrenergik
b. Yodium
c. Ipodat
d. Litium

Link terkait:
Wanita Cantik Bergondok (kasus)
Kelenjar tiroid penting untuk tubuh
Lampiran

DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 1996, Jilid I, Edisi ketiga, Editor Kepala: Sjaifoellah Noer, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Dorland, W.A. Newman, 2002, Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29, trans. Huriawati Hartanto, EGC, Jakarta.
Guyton, Arthur C. & John E. Hall, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Editor: Irawati Setiawan, EGC, Jakarta.
Mansjoer et al., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, cetakan 1, Media Aesculapius, Jakarta.
Price, Sylvia Anderson & Lorraine McCarty Wilson, 1991, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Edisi 2, Alih bahasa: Adji Dharma, EGC, Jakarta.
Rubenstein, David, David Wayne & John Bradley, 2007, Lecture Notes: Kedokteran Klinis, Edisi 6, trans. Annisa Rahmalia, Erlangga, Surabaya.




Read On

Wanita Cantik Bergondok

0 comments


Kasus:
Seorang wanita cantik (28 tahun) yang bertempat tinggal di daerah gondok endemis, mengeluhkan benjolan di leher depannya yang muncul sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan lain berupa banyak keringat, badan panas dan nyeri, suka hawa dingin, sering berdebar-debar, dan kedua
tangannya bergetar bila memegang sesuatu. Perlu diketahui bahwa anak tetangga pasien (10 tahun) menderita cretinism. Dalam pemeriksaan didapatkan nadi 110 kali/menit, mata exopthalmus, benjolan di leher konsistensi lunak, tidak nyeri dan mudah digerakkan, kadar TSHs<0,005>



Graves disease sebagai manifestasi gangguan autoimun. Hal ini ditandai dengan penurunan TSHs,
kenaikan fT4 dan fT3. Kelainan ini disebabkan adanya antibodi imunoglobulin (IgG) dalam serum. Antibodi ini bereaksi dengan reseptor TSH atau membran plasma tiroid. Akibatnya, interaksi antara antibodi dengan reseptor terebut merangsang fungsi tiroid untuk mensekresi hormon tiroid yang berupa tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) tanpa adanya rangsangan dari TSH hipofisis. Antibodi ini mungkin disebabkan karena suatu kelainan imunitas yang bersifat herediter yang memungkinkan kelompok limfosit tertentu dapat bertahan, berkembang biak dan mengsekresi imunoglobulin stimulator sebagai respon terhadap beberapa faktor perangsang (Price & Wilson 1991, h. 338). Adapun antigen yang berkaitan dengan limfosit diperintah dan diatur oleh gen-gen kompleks HLA (Human Leukocyte Antigen) (Dorland 2002, h. 124).


Gen inilah yang mungkin berperan dalam munculnya kelainan pada limfosit tersebut. Antibodi IgG yang disebut juga Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI) memiliki kemampuan untuk menyerupai tirotropin (TSH) melalui ikatan dengan reseptornya pada sel tiroid dan mengaktifkan adenilat siklase sehingga menyebabkan peningkatan kadar intraseluler cAMP. Bahan-bahan tersebut merangsang aktivasi terus menerus dari sistem cAMP dalam sel sehingga mengakibatkan sekresi hormon tiroid yang berlebihan, yang disebut hipertiroidisme. Antibodi ini memiliki efek perangsangan yang panjang pada hormon tiroid, yakni selama 12 jam. Hormon lain yang memiliki struktur yang identik dengan tirotropin (TSH) adalah human chorionic gonadotropin (hCG) (Dorland 2002, h. 940). Hormon ini dibentuk oleh plasenta yang penting untuk berlangsungnya kehamilan normal (Guyton & Hall 1997, h. 1310). Karena hormon ini memiliki struktur yang identik dengan TSH, maka hormon ini dapat berikatan juga dengan reseptor TSH sehingga dapat menimbulkan sekresi hormon tiroid. Oleh karena itu, wanita memiliki perevalensi yang lebih besar menderita penyakit Graves (wanita : pria = 5:1). Kelebihan hormon tiroid dalam plasma ini mengakibatkan adanya mekanisme umpan balik yang menekan pembentukan TSH oleh kelenjar hipofisis anterior. Akibatnya, konsentrasi TSH dalam plasma akan lebih kecil dari normal, dan seringkali nol. Eksoftalmus yang muncul juga dipercaya merupakan suatu proses autoimun. Hal ini disdukung oleh adanya bukti bahwa pada kebanyakan penderita, dapat ditemukan imunoglobulin yang bereaksi pada otot-otot mata (Guyton & Hall 1997, h. 1198).

Namun hal ini masih dalam perdebatan. Adanya konsentrasi hormon tiroid yang berlebih di dalam plasma menyebabkan adanya peningkatan berbagai mekanisme tubuh, yang mengakibatkan peningkatan suhu tubuh yang mengakkibatkan pasien tidak tahan panas dan lebih suka pada hawa yang dingin. Hal ini disebabkan hormon tiroid tersebut, bila dalam konsentrasi yang sangat tinggi dapat mengakibatkan mitokondria membengkak secara tidak teratur, dan kemudian terjadi uncoupling dari proses fosforilasi oksidatif dengan pembentukan sejumlah besar panas tetapi sedikit ATP. Peningkatan aktivitas enzimatik yang disebabkan peningkatan produksi hormon tiroid juga meningkatkan kekuatan denyut jantung. Peningkatan metabolisme dalam jaringan juga mempercepat pemakaian oksigen dan memperbanyak jumlah produk akhir dari metabolisme yang dilepaskan dari jaringan. Akibatnya, terjadi vasodilatasi pada sebagaian besar jaringan tubuh, sehingga meningkatkan aliran darah. Kecepatan aliran darah pada kulit terutama meningkat karena meningkatnya kebutuhan untuk pembuangan panas (Guyton & Hall 1997, h. 1193).

Keadaan ini menyebabkan pasien merasa sering berdebar-debar walaupun tidak melakukan aktivitas yang berat. Pengobatan yang paling langsung adalah dengan pengangkatan sebagian besar kelenjar tiroid melalui pembedahan. Pada umumnya, penderita perlu dipersiapkan sebelum dilakukan operasi pengangkatan kelenjar tersebut. Tindakan persiapan ini dilakukan dengan pemberian propiltiourasil, biasanya selama beberapa minggu, sampai kecepatan metabolisme basalnya sudah kembali normal. Selanjutnya, dilakukan pemberian iodida konsentrasi tinggi selama 1 sampai 2 minggu sebelum operasi agar ukuran kelenjarnya menyusut dan agar suplai darahnya berkurang. Namun operasi ini berisiko terjadinya
hipotiroidisme karena hilangnya/berkurangnya kelenjar yang memproduksi hormon tiroid, bahkan dapat mengakibatkan timbulnya krisis tiroid. Selain itu, ada risiko terangkatnya kelenjar paratiroid saat dilakukan pengangkatan kelenjar tiroid yang akan mempengaruhi metabolisme kalsium dalam tubuh. Sedangkan terjadinya cretinism yang terjadi pada anak tetangganya, disebabkan karena adanya kelainan hipotiroidisme. Hal ini mungkin disebabkan karena daerah tempat tinggalnya merupakan daerah gondok endemis, sehingga mengakibatkan kurangnya asupan iodium pada anak tersebut. Kekurangan iodium menyebabkan sekresi hormon tiroid menjadi terhambat. Akibatnya, tidak ada hormon yang dapat mengambat sekresi TSH, sehingga kelenjar hipofisis mensekresi banyak TSH. TSH menyebabkan sel-sel tiroid mensekresi banyak tiroglobulin (koloid) ke dalam folikel, dan kelenjarnya tumbuh semakin besar (Guyton & Hall 1997, h. 1199).


Link terkait: Struma sebagai Manifestasi Klinis dari Hipertiroidisme
Kelenjar Tiroid Penting untuk Tubuh Kita
Lampiran


DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 1996, Jilid I, Edisi ketiga, Editor Kepala: Sjaifoellah Noer, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Dorland, W.A. Newman, 2002, Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29, trans. Huriawati Hartanto, EGC, Jakarta.
Guyton, Arthur C. & John E. Hall, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Editor: Irawati Setiawan, EGC, Jakarta.
Mansjoer et al., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, cetakan 1, Media Aesculapius, Jakarta.
Price, Sylvia Anderson & Lorraine McCarty Wilson, 1991, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Edisi 2, Alih bahasa: Adji Dharma, EGC, Jakarta.
Rubenstein, David, David Wayne & John Bradley, 2007, Lecture Notes: Kedokteran Klinis, Edisi 6, trans. Annisa Rahmalia, Erlangga, Surabaya.



Read On

Diametes Mellitus

0 comments

Seorang wanita (45 tahun) berat badan 45 kg, tinggi badan 156 cm, dengan keluhan sering kencing atau poliuria, kedua kaki terasa kesemutan (polineuropati) dan mata kabur. Riwayat penyakit sekarang: sejak 2 tahun yang lalu penderita merasakan sering kencing, banyak makan tetapi berat badan semakin kurus dan pernah berobat ke dokter katanya menderita diabetes insipidus. Anak laki-lakinya yang berusia 11 tahun menderita penyakit
diabetes melitus dan sekarang memakai insulin. Pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Hasil CT scan abdomen kesimpulan: kalsifikasi pada kelenjar pankreas. Laboratorium darah: gula darah puasa 256 mg/dl, kolesterol total 250 mg/dl, creatinine 2,0 mg/dl. Urine rutin: protein positip (+++), reduksi (+++).

__________________________________________
_________________________
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang disebabkan karena defisiensi insulin. Penyakit ini sering disebut dengan penyakit gula, karena gejala klasik berupa kelainan metabolisme glukosa pada tubuh.
Penyebabnya bermacam-macam, namun intinya adalah glukosa (yang berfungsi sebagai sumber energi bagi sel-sel tubuh) gagal masuk ke dalam sel tubuh. Ibaratkan sel adalah sebuah rumah. Untuk memasukkan glukosa ke dalam rumah tentu butuh
kunci yang tepat. Kunci yang dimaksud adalah insulin (enzim yang diproduksi oleh pankreas). Yang jadi masalah adalah ketika anak kunci insulin sudah tidak cocok lagi untuk membuka pintu rumah tersebut. Masalah lain ketika pabrik yang memproduksi insulin (pankreas-red) mengalami kerusakan alias bangkrut.

Akibat proses tersebut, terjadi kegagalan pemindahan glukosa dari plasma ke dalam sel. Hal ini menyebabkan sel tersebut mengalami kelaparan. Tubuh akan berespons seakan dalam keadaan puasa dengan stimulasi glikogenolisis (pemecahan cadangan glukosa), glukoneogenesis (pembentukan glukosa), dan lipolisis (pemecahan lemak) yang menghasilkan badan keton (Candrasoma & Taylor 2005, h. 622).
Selain itu, kelaparan sel ini mengakibatkan perangsangan hipotalamus lateral, yang merupakan pusat lapar atau pusat kenyang, sehingga membangkitkan perangsangan motorik penderita terhadap semua aktivitas dan khususnya perangsangan emosional untuk mencari makanan (Guyton & Hall 1997, h. 1114). Akibatnya tubuh menjadi sangat lapar, dan menyebabkan kondisi banyak makan. Keadaan ini disebut polifagia.
Glukosa yang diserap ketika makan tidak dimetabolisme dengan kecepatan normal sehingga terkumpul di dalam darrah (hiperglikemia) dan diekskresikan ke dalam urine (glikosuria). Glukosa di dalam urine selanjutnya menyebabkan diuresis osmotik sehingga meningkatkan produksi urine (poliuria).
Kehilangan cairan dan hiperglikemia meningkatkan osmolaritas plasma, yang merangsang pusat rasa haus (polidipsia) (Candrasoma & Taylor 2005, h. 622). Pusat rasa haus ini terletak di hipotalamus bagian lateral. Bila elektrolit yang terdapat dalam neuron di pusat ini atau di daerah yang berkaitan dengan hipotalamus menjadi sangat pekat, maka tubuh akan berkembang hasrat untuk minum air secukupnya untuk mengembalikan konsentrasi elektrolit dalam neuron pusat rasa hasa haus menjadi normal kembali (Guyton & Hall 1997, h. 936).
Apabila kadar glukosa serum sangat tinggi, keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya koma hiperosmolar non ketotik. Komplikasi ini meyebabkan angka mortalitas yang tinggi. Koma hiperosmolar ini diterapi dengan pemberian cairan secara agresif dan insulin (Candrasoma & Taylor 2005, h. 622).
Stimulasi penguraian protein untuk menyediakan asam amino bagi glukoneogenesis menyebabkan pengecilan otot dan penurunan berat badan (Candrasoma & Taylor 2005, h. 622).
Bila tidak ada insulin, maka semua aspek pemecahan lemak dan yang digunakan untuk menyediakan energi akan sangat meningkat. Hal ini menyebabkan timbulnya benda keton yang terlalu banyak di dalam aliran darah (ketonemia, ketosis) dan diekskresikan di dalam urine (ketonuria) (Candrasoma & Taylor 2005, h. 622). Selain itu, terjadinya metabolisme asam lemak yang abnormal dan disertai dengan adanya endapan kolesterol pada pembuluh darah juga dapat memicu terjadinya aterosklerosis. Akumulasi sorbitol pada jaringan saraf atau lensa mata yang diakibatkan karena ezim aldosa reduktase yang menghasilkan sorbitol karena kadar glukosa tinggi mengakibatkan munculnya polineuropati dan katarak (Candrasoma & Taylor 2005, h. 622). Manifestasi klinis retinopati berupa adanya mikroaneurisme (pelebaran sakular yang kecil) dari arteriol retina. Akibatnya terjadi pendarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina yang dapat mengakibatkan kebutaan (Price & Wilson 1991, h. 309).
Keadaan kekurangan insulin ini hampir tidak berpengaruh terhadap sel otak secara langsung. Hal ini disebabkan karena sel-sel otak bersifat permeabel terhadap glukosa dan dapat menggunakan glukosa tanpa perantaraan insulin. Namun, apabila kadar glukosa darah turun terlalu rendah (20 sampai 50 mg/dl), akan timbul gejala renjatan hipoglikemik, yang ditandai dengan adanya iritabilitas saraf progresif yang menyebabkan penderita menjadi pingsan, kejang dan bahkan dapat timbul koma (Guyton & Hall 1997, h. 1225).
Kerja fisik sedang atau berat yang membutuhkan glukosa yang besar juga tidak membutuhkan sejumlah besar insulin, karena serat otot yang bekerja menjadi permeabel terhadap glukosa bahkan pada keadaan tidak ada insulin akibat proses kontraksi itu sendiri (Guyton & Hall 1997, h. 1224). Hal ini merupakan alasan kenapa penderita DM disarankan untuk melakukan olahraga dan latihan jasmani.
Keadaan hiperglikemia yang menimbulkan penebalan difus membran basalis kapiler di seluruh tubuh, termasuk pada membran basal tubulus renalis. Keadaan ini meningkatkan permeabilitas terhadap cairan dan makromolekul protein. Membran dasar kapiler glomerolus yang bertugas memfiltrasi zat-zat yang masuk ke dalam ren mengalami kerusakan sehingga menyebabkan protein (yang sehausnya tidak dapat melewati membran dasar ini) menjadi lolos dan masuk ke dalam tubulus renalis dan ikut diekskresikan bersama urine. Hal ini menyebabkan munculnya protein dalam urine (proteinuria). Porteinuria ini merupakan manifestasi dini dari nefropati. Kalau fungsi nefron terus berkelanjutan, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia (Price & Wilson 1991, h. 309).

Pola kecacatan insulin tersebut dapat kemudian diturunkan pada anaknya, yang akhirnya menderita penyakit DM tipe I.

Terapi yang perlu dilakukan untuk mengendalikan penyakit DM berupa perencanaan makan, latihan jasmani, obat hipoglikemik, dan penyuluhan. Perencanaan makan termasuk melakukan diet kalori dengan perhitungan jumlah kalori. Sebelumnya dihitung terlebih dahulu berat badan ideal untuk menentukan jumlah kalori basal pasien. Cara termudah adalah perhitungan menurut Bocca:
BB ideal = 90%.(TB dalam cm – 100) kg
= 90% . (156 – 100) kg
= 90% . 56 kg
= 50,4 kg
Berat badan aktual = 45 kg (<50,4 kg), sehingga wanita tersebut tergolong dalam kategori kurus. Kemudian menghitung jebutuhan basal dengan mengalikan berat badan ideal dengan 30 kal/kg untuk laki-laki dan 25 kal/kg untuk wanita. Kenbutuhan kalori sebenarnya harus ditambah lagi sesuai dengan kegiatan sehari-hari (lampiran Tabel 3). Perhitungan Kalori: Kalori basal : 50,4 x 25 = 1260 kalori Koreksi: Umur > 40 tahun = -5 % x 1260 = - 63 kalori
Aktivitas (ringan) = + 20 % x 1260 = + 252 kalori
Berat badan (kurus) = + 20 % x 1260 = + 252 kalori
Total kebutuhan = 1701 kalori
Diet : DM 1701 kalori
Jadi, diet yang disarankan pada pasien DM tersebut adalah 1701 kalori.
Selain melakukan pengaturan makan, pasien DM juga dianjurkan melakukan latihan jasmani teratur. Apabila pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan jasmani dengan teratur tetapi kadar glukosanya masih belum baik, dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik (oral/suntikan) (Mansjoer et al. 2000, h. 585).

Keep healthy...


Sumber:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 1996, Jilid I, Edisi ketiga, Editor Kepala: Sjaifoellah Noer, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Chandrasoma, Parakrama & Clive R. Taylor, 2005, Patologi Anatomi, Edisi 2, Alih bahasa: Roem Soedoko et al., EGC, Jakarta.
Dorland, W.A. Newman, 2002, Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29, trans. Huriawati Hartanto, EGC, Jakarta.
Farmakologi Dasar dan Klinik, 2007, Edisi 5, Editor Kepala: Sulistia Gan Gunawan, Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran - Universitas Indnesia, Jakarta.
Guyton, Arthur C. & John E. Hall, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Editor: Irawati Setiawan, EGC, Jakarta.
Mansjoer et al., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, cetakan 1, Media Aesculapius, Jakarta.
Murray, Robert K., Daryl K. Granner, Peter A. Mayes, Victor W. Rodwell, 1999, Biokimia Harper, Edisi 24, Alih Bahasa: Andry Hartono, Editor: Alexander H. Santoso, EGC, Jakarta.
Price, Sylvia Anderson & Lorraine McCarty Wilson, 1991, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Edisi 2, Alih bahasa: Adji Dharma, EGC, Jakarta.
Rubenstein, David, David Wayne & John Bradley, 2007, Lecture Notes: Kedokteran Klinis, Edisi 6, trans. Annisa Rahmalia, Erlangga, Surabaya.




Read On

Pertama Online: Mission of 'Ngadem'

0 comments Tuesday, July 21, 2009
Kali ini saya akan mengungkap kisah Mission of 'Ngadem'. Sebuah kisah biasa yang tidak penting, bahkan sepele. Namun, dari kisah tidak penting itulah, tulisan ini dapat sampai di depan mata Anda sekarang...

Kisah ini dimulai dengan sebuah kata: Online.. Kata yang menjadi lirik lagu yang dipopulerkan oleh Saikoji tentang kebiasaan anak-anak muda (bahkan yang tua) menghabiskan waktunya, yaitu dengan berinternet, bahasa gaulnya 'ngenet'. Begitu pula dengan saya.

Namun, dulu saat saya SMP, untuk dapat menjelajahi dunia maya tidaklah semudah sekarang. Kenapa...? Pasalnya, hanya tersedia sedikit sekali fasilitas ngenet. Jumlah WARNET (Warung Internet, entah kenapa disebut ’warung’?) yang tersedia amat sedikit. Malahan, WARNET yang berhasil saya temukan dengan sukses saat itu hanya 1 warung sederhana...

Akibatnya, tarif internet per jam sangat mahal. Seorang pelajar SMP dengan uang jajan pas-pasan seperti saya tentu harus berpikir tiga-empat kali sebelum masuk ke WARNET. Layanannya pun kurang memuaskan. Karena bandwithnya terbatas, kecepatan browsingnya sangat lambat. Bahkan, saking lambatnya kadang malah menjadi gambar tidak bergerak alias jadi ’hang’. Kalau sudah terjadi ’hang’, emosi pun memuncak. Namun, di Warnet itu ada suatu hal yang sangat menyenangkan hati, jiwa, dan raga.. yaitu ‘DINGIN’nya (karena ruangannya ber-AC... brrr).

WARNET kuanggap sebagai tempat 'ngadem' kala udara di luar sangat panas. Bahkan, kadang saya ajak teman-teman untuk 'ngadem-bareng' di WARNET. Walau hanya beberapa saat, tapi 'adem'nya terasa..

Ngenet kala itu hanya sekedar mencoba-coba. Prinsip: tidak akan bisa kalau tidak mau mencoba. Namun, karena aku masih ’gaptek total’ soal komputer, apalagi internet jadi aku tidak mencobanya sendiri, melainkan hanya ngikut temanku yang ngenet. Numpang...

Saking tidak 'mudheng'nya dengan yang namanya internet, aku mengajak kakakku saat browsing buat tugas sekolah dengan 'mbah gugel' (google). Saat itu juga aku diajari untuk membuat emailku yang pertama... Perasaanku senaaang sekali.. Namun sayang, seiring berjalannya waktu, alamat email pertama yang kubuat dengan 'training sekejap' dari kakakku pun musnah dari ingatanku (lupa).. Setelah hari itu, aku mulai berpisah sementara dari kegiatan online..

Sampai pada suatu ketika, aku mendapat tugas dari sekolah (SMA) untuk membuat kliping tentang seni..pikirku: cari aja di internet, terus diprint, jadi deh...! Saat itulah aku mulai aku 'berteman' lagi dengan internet. Sejak saat itu pula aku mulai mengembangkan wawasanku tentang 'temanku' itu. Aku pun mulai paham kegunaan dari search engine 'mbah gugel', baik untuk mencari referensi untuk tugas maupun hanya sekedar 'berselancar' (browsing) untuk mencari informasi tidak penting lain.

Semakin lama, aku semakin menyukai internet. Beberapa situs bagiku sangat bermanfaat (seperti wikipedia). Namun, beberapa situs kadang kurang menarik, bahkan ada yang ’terlarang’ (Anda tentu tahu maksud saya...).

Saat menginjak-injak bangku kuliah, aku pun dikenalkan pada situs-situs persahabatan online, seperti friendster dan facebook. Merasa belum cukup, aku mulai masuk ke dalam alam blogger. Awalnya, aku hanya mencoba-coba membuat tulisan seadanya, baik dengan wordpress maupun blogger. Namun, akhirnya keterusan.... Sampai sekarang.

Akhirnya, tanpa disadari kini aku telah menjadi seorang ‘pecandu’ internet. Namun, jika dibandingkan rekan-rekanku yang lain, pengetahuanku tentang internet masih belum cukup (masih tetap gaptek..). Oleh karena itu, aku harus terus mengembangkan kemampuan ‘berselancar’, agar tidak terseret oleh ‘gelombang teknologi informasi’ yang deras ini. Just like what I said: ’Tidak akan bisa kalau tidak mau mencoba’.

Let’s surfing!
Read On

Mau Download Soal-soal SNMPTN atau SPMB?

0 comments Monday, May 11, 2009

Salah satu trik jitu untuk lulus SPMB atau SNMPTN (senam ptn) adalah dengan terus menerus mengasah kemampuan. Caranya...?

Kuasai metode-metode dasarnya terlebih dahulu, jangan sekali-kali langsung melihat rumus-rumus yang membingungkan. Karena jika kamu langsung mencoba soal yang rumit tanpa mengusasai rumus dasarnya terlebih dahulu,kamu akan kehilangan kepercayaan dirimu jika tidak bisa menemukan cara yang tepat.


Selanjutnya, yang paling penting adalah banyak mencoba-coba soal SPMB / SNMPTN tahun sebelumnya. Hal ini akan menambah wawasan kamu sekaligus melatih otak kamu untuk berpikir. Jangan lupa pakai batas waktu (kalau bisa 1 soal maksimal 30 detik), gitu...!!


Berikut adalah sebagian dari soal-soal dari yang kami dapatkan. Apabila teman-teman ada yang mempunyai soal SPMB / SNMPTN lainnya, silahkan mengirimnya ke genki_jin@yahoo.co.id. Terima kasih sekali atas kirimannya.Sankyuu Berimachi ….

__________________________

Soal SPMB tahun 2001:

content: IPA, IPS, Kemampuan Dasar

Pembahasan:

content: IPA, IPS, Kemampuan Dasar

Soal SPMB tahun 2002:

content: IPA, IPS, Kemampuan Dasar

Pembahasan:

content: IPA, IPS, Kemampuan Dasar

Soal SPMB tahun 2003:

content: N/A (maaf, soal tahun 2003 belum punya)

Pembahasan:

content: IPA, IPS, Kemampuan Dasar

Soal SPMB tahun 2004:

content: Matematika IPA, Matematika Dasar

Pembahasan:

content: Matematika IPA, Matematika Dasar

Soal SPMB tahun 2005:

content:Soal + Pembahasan (paket 1), Soal (paket 2)

Soal SPMB tahun 2006:

content: Soal (paket 1)

Soal SPMB tahun 2007:

content: IPA, IPS, Kemampuan Dasar


abpfimx75g

Read On

Perbedaan Respon Tubuh terhadap Obat

0 comments Friday, May 8, 2009

Dalam pengertian umum, obat adalah suatu substansi yang melalui efek kimianya membawa perubahan dalam fungsi biologik. Pada umumnya, molekul obat berinteraksi dengan molekul khusus dalam system biologik, yang berperan sebagai pengatur, disebut molekul reseptor (Katzung 1998, h. 2).

Genom manusia memiliki lebih dari 100.000 peptida produk gen yang berbeda dan kompleksitas kimiawi tiap peptida tersebut cukup untuk memberikan banyak tempat pengikatan yang berbeda-beda. Meskipun struktur kimiawi suatu obat memungkinkan untuk mengikat hanya satu jenis reseptor saja, proses-proses biokimiawi yang diatur reseptor tersebut akan terjadi di dalam sel yang multipel dan akan berikatan dengan banyak fungsi-fungsi biokimiawi lainnya, sebagai hasilnya, penderita dan dokternya mungkin mendapatkan lebih dari satu efek obat (Katzung 1998).

Oleh karena itu, suatu obat dapat menyebabkan beberapa efek spesifik. Efek yang terjadi pada pasien dapat berupa efek utama yang diinginkan. Namun, pada beberapa kasus, dapat muncul efek obat yang tidak diinginkan yang disebut toksisitas. Toksisitas tersebut dapat terjadi pada individu-individu tertentu yang memiliki respon obat yang berbeda-beda. Bahkan, individu dapat menunjukkan respons yang jarang terlihat pada kebanyakan penderita, yang disebut idiosinkrasi (Katzung 1998).

Variasi (Keanekaragaman) dalam Respons Tubuh terhadap Obat

Respons individu-individu terhadap suatu obat bisa sangat bervariasi; sesungguhnya, seorang individu dapat memberikan respons yang berlainan terhadap obat yang sama pada saat-saat yang berbeda selama masa pengobatan (Katzung 1998, h. 31).

Menurut Katzung (1998), variasi-variasi tersebut dapat berupa: perubahan dalam konsentrasi obat yang mencapai reseptor, variasi dalam konsentrasi dalam konsentrasi ligan reseptor endogen, perubahan dalam jumlah atau fungsi reseptor dan perubahan-perubahan komponen respons di sebelah distal reseptor.

Penyebab Variasi dalam Respons Obat

Menurut Katzung (1998, h. 60), pemberian dosis dan frekuensi untuk mencapai kadar obat yang efektif dalam darah dan jaringan bervariasi untuk penderita yang berlainan karena adanya perbedaan individual di dalam distribusi obat serta kecepatan metabolisme dan eliminasi obat. Perbedaan ini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

· Faktor-faktor genetik

· Faktor non-genetik, seperti umur, jenis kelamin, ukuran hati, fungsi hati, ritme circadian, suhu tubuh

· Faktor nutrisi dan lingkungan, seperti pemaparan bersamaan terhadap induser atau inhbitor terhadap metabolisme obat




HRZE sebagai terapi Tuberkulosis

Obat lintas pertama yang sering diberikan dalam pengobatan tuberkulosis adalah isoniazid, rimfapin, etambutanol, dan pirazinamid untuk terapi awal, dengan streptomisin sebagai terapi alternatif. (Katzung 1998, h. 737).

Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama karena sulit untuk membunuh kuman semi dorman. Terdapat 3 aktifitas anti tuberkulosis, yaitu:

1. Obat bakterisidal: INH, rifampisin, pirazinamid.

2. OAT dengan kemampuan sterilisasi: rifampisin, PZA.

3. OAT dengan kemampuan mencegah resistensi: rifampisin dan INH, sedangkan streptomisin dan etambutol kurang efektif (Bagian Ilmu Penyakit Paru FK Unair 2004 h. 22).

Biotransformasi Obat

Menurut Katzung (1998), semua reaksi biotransfomasi obat dapat dimasukkan dalam salah satu reaksi fase I atau reaksi II.

Reaksi fase I biasanya mengubah obat asal (parent drug) mejadi metabolit yang lebih polar dengan menambahkan atau melepaskan suatu gugusan fungsional (-OH, -NH, -SH). Metabolit ini sering bersifat tidak aktif, walaupun ada beberapa kedaan aktifitas obat hanya berubah saja. Jika metabolit reaksi fase I cukup polar, maka reaksi biasa dapat diekskresikan dengan mudah. Namun, banyak produk reaksi fase I tidak dieliminiasikan dengan cepat dan mengalami suatu reaksi selanjutnya dimana suatu substrat endogen seerti asam glukorat, asam sulfur, asam asetat, atau suatu asam amino akan berkombinasi dengan gugusan fungsioanal yang baru itu untuk membentuk suatu konyugat yang sangat polar. Reaksi konyugasi atau sintetik ini merupakan tanda dari metabolisme fase II. Berbagai macam obat mengalami reaksi-reaksi biotransformasi berantai ini, walaupun pada keadaan parent drug memang sudah memiliki suatu gugusan fungsional yang bisa membentuk suatu konyugat secara langsung (Katzung 1998, h. 53-54).

Interaksi antara Obat dan Senyawa-senyawa Endogen

Beberapa macam obat memerlukan konyugasi dengan substrat-substrat endogen seperti glutation, asam glukuronat, dan sulfat untuk inaktifasi mereka. Obat-obat yang berbeda bisa bersaingan untuk suatu substrat endogen yang sama, dan obat yang bereaksi cepat bisa secara efektis mengosongkan kadar substrat endogen dan mengganggu metabolisme obat yang bereaksi lambat. Jika obat belakangan tersebut memiliki suatu kurva dosis-respons yang curam atau suatu batas keamanan yang sangat sempit, maka bisa terjadi potensiasi efek farmakologi dan menyebabkan efek toksis (Katzung 1998, h. 63).

DAFTAR PUSTAKA

Bagian Ilmu Penyakt Paru FK Unair, 2004, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru, Editor: Hood Alsagaff et.al., Gramik FK Unair, Surabaya.

Katzung, Bertram G., 1997, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 6, Alih Bahasa: Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran UNSRI, Editor: Anwar Agoes, EGC, Jakarta.

Murray, Robert K., Daryl K. Granner, Peter A. Mayes, Victor W. Rodwell, 1999, Biokimia Harper, Edisi 24, Alih Bahasa: Andry Hartono, Editor: Alexander H. Santoso, EGC, Jakarta.

Read On

Buta Warna dan Penurunan Sifatnya (Kasus)

1 comments

Muchlis, seorang remaja berusia 19 tahun, gagal saat menjalani tes buta warna. Menurut informasi, kakak laki-laki, adik perempuan serta kedua orang tuanya tidak buta warna. Namun, kakek Muchlis juga menderita buta warna.

Pembahasan:

Buta warna adalah penyakit keturunan yang disebabkan oleh gen resesif c (color blind). Karena gennya terdapat dalam kromosom-X, sedangkan perempuan memiliki 2 kromosom-X, maka seorang perempuan dapat merupakan normal homozigotik (CC), normal heterozigotik (Cc), atau yang amat jarang dijumpai homozigotik (cc) sehingga menderita buta warna.

Sedangkan laki-laki hanya memiliki sebuah kromosom-X saja sehingga ia hanya dapat merupakan normal (C-) atau butawarna (c-).

Dari informasi yang ada, didapat bahwa kakek Muchlis menderita buta warna. Oleh karena itu, walaupun anak perempuan kakek Muchlis (ibu Muchlis) itu normal, tetapi dia adalah carrier gen resesif untuk butawarna. Karena ibu Muchlis kawin dengan ayah Muchlis yang normal, maka peluang memiliki anak buta warna adalah 25%.

Dari kasus ini tampak bahwa sifat ibu (yaitu buta warna) diwariskan kepada semua anak laki-laki. Cara mewariskan sifat keturunan demikian itu dinamakan cara mewariskan bersilang (Criss-cross inheritance) dan ini merupakan ciri khas bagi pewarisan gen-gen terangkai-X (X-linked genes).

Dasar Teori

Read On

Buta Warna dan Penurunan Sifatnya

0 comments


Telah diketahui bahwa individu itu mempunyai dua macam kromosom, yaitu autosom dan seks kromosom. Oleh karena individu betina dan jantan mempunyai autosom yang sama, maka sifat keturunan yang ditentukan oleh gen pada autosom diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya tanpa membedakan seks. Misalnya sifat keturunan seperti jari lebih, warna mata atau rambut dan albino dapat diwariskan, tetapi keturunan F1 maupun F2 tidak pernah disebut-sebut jenis kelaminnya.

Selain gen-gen autosom, dikenal pula gen-gen yang terdapat di dalam kromosom kelamin. Peristiwa ini dinamakan rangkai kelamin (sex linkage). Gen-gen yang terangkai pada kromosom kelamin dinamakan gen terangkai kelamin (sex-linkage genes). Adapun gen terangkai-X (X-linked genes) adalah gen yang terangkai pada kromosom-X dan gen terangkai-Y (Y-linked genes) adalah gen yang terangkai pada kromosom-Y (Surya, 1994).

Lebih dari 150 sifat keturunan kemungkinan besar disebabkan oleh gen-gen terangkai-X dikenal pada manusia. Kebanyakan disebabkan oleh gen resesif.

Buta Warna

Istilah Buta warna dapat diartikan sebagai suatu kelainan penglihatan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut pada retina mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu sehingga warna objek yang terlihat bukan warna yang sesungguhnya (Nina Karina, 2007).

Proses Penglihatan

Mula-mula cahaya masuk ke mata melalui pupil (biji mata), melewati kornea, lensa, dan bagian dalam dari bola mata langsung ke sel batang (bacillus) dan sel kerucut (conus) dari retina di bagian belakang bola mata. Transduksi energi fisik ke dalam reseptor potensial terjadi dalam basilus dan konus. Impuls-impuls syaraf kemudian menggerakkan sel lain dari retina, yaitu sel ganglion. Ganglion membawa impuls-impuls tentang kejadian visual dalam lingkungan bergerak ke otak sepanjang syaraf optik (Gunadarma).

Retina memiliki dua macam sel yaitu sel batang dan sel kerucut yang peka terhadap cahaya. Sel batang ini lebih peka pada malam hari dan juga warna hitam dan putih. Sedangkan sel kerucut lebih banyak bekerja pada siang hari yang peka terhadap berbagai warna. Sel kerucut ada 3 jenis yang masing-masing paling peka terhadap spektrum warna merah, hijau, dan biru (Nina Karina, 2007).

Apabila sel batang dan sel kerucut terangsang, sinyal akan dijalarkan melalui rangkaian sel syaraf dalam retina itu sendiri dan akhirnya ke dalam serabut syaraf optik dan korteks serebri (Guyton dan Hall, 1996).

Jenis-jenis Buta Warna

Buta warna dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu:

1. Buta warna jenis trikomasi adalah perubahan sensitifitas warna dari satu jenis atau lebih sel kerucut. Ada tiga macam trikomasi yaitu:

a. Protanomali yang merupakan kelemahan warna merah

b. Deuteromali yaitu kelemahan warna hijau

c. Tritanomali (low blue) yaitu kelemahan warna biru. Jenis buta warna inilah yang paling sering dialami dibandingkan jenis buta warna lainnya

2. Dikromasi merupakan tidak adanya satu dari 3 jenis sel kerucut, terdiri dari:

a. Protanopia yaitu tidak adanya sel kerucut warna merah sehingga kecerahan warna merah dan perpaduannya berkurang

b. Deuteranopia yaitu tidak adanya sel kerucut yang peka terhadap hijau

c. Tritanopia untuk warna biru.

3. Sedangkan monokromasi ditandai dengan hilangnya atau berkurangnya semua penglihatan warna, sehingga yang terlihat hanya putih dan hitam pada jenis typical dan sedikit warna pada jenis atypical. Jenis buta warna ini prevalensinya sangat jarang (Nina Karina, 2007).

Penyebab Buta Warna

Dua gen yang berhubungan dengan munculnya buta warna adalah OPN1LW (Opsin 1 Long Wave), yang menyandi pigmen merah dan OPN1MW (Opsin 1 Middle Wave), yang menyandi pigmen hijau (Samir S. Deeb dan Arno G. Motulsky, 2005).

Penyebab tersering buta warna adalah faktor keturunan, gangguan terjadi biasanya pada kedua mata, namun tidak memburuk seiring berjalannya usia. Penyebab lainnya adalah kelainan yang didapat selama kehidupannya, misalnya kecelakaan/trauma pada retina dan otak, umumnya kelainan hanya terjadi pada salah satu mata saja dan bisa mengalami penurunan fungsi seirng berjalannya waktu. Selain itu buta warna juga dapat disebabkan oleh Shaken Baby Syndrom (yang dapat menyebabkan kerusakan retina dan otak sehingga terjadilah buta warna) atau terkena radiasi sinar UV (tidak memakai pelindung) (wikipedia).

Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linked genes). Jadi kemungkinan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta warna secara turunan lebih besar dibandingkan wanita yang bergenotif XX untuk terkena buta warna. Jika hanya terkait pada salah satu kromosom X nya saja, wanita disebut carrier atau pembawa, yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak-anaknya. Menurut salah satu riset 5-8% pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta warna. Dan 99% penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia, dan deuteranopia (Nina Karina, 2007).

Diagnosis Buta Warna

Tes uji klinis yang umum digunakan untuk mendeteksi cacat buta warna adalah tes Ishihara dan tes American Optical HRR pseudoisochromatic.

Metode-metode ini dipakai untuk menentukan dengan cepat suatu kelainan buta warna didasarkan pada penggunaan kartu bertitik-titik dengan berbagai macam warna yang membentuk angka (Ishihara) dan simbol (HRR).

Sedangkan untuk melakukan klasifikasi pasti dari protanopia, deuteranopia, protanomali, dan deuteranomali memerlukan penggunaan dari anomaloscope yang melibatkan pemadanan warna (Samir S Deeb and Arno G Motulsky, 2005).

Penurunan Sifat

Gen adalah unit heriditas suatu organisme hidup. Gen ini dikode dalam material genetik organisme, yang kita kenal sebagai molekul DNA, atau RNA pada beberapa virus, dan ekspresinya dipengaruhi oleh lingkungan internal atau eksternal seperti perkembangan fisik atau perilaku dari organisme itu. Gen tersusun atas daerah urutan basa nukleotida baik yang mengkode suatu informasi genetik (coding-gene region as exon) dan juga daerah yang tidak mengkode informasi genetik (non-coding-gene region as intron), hal ini penting untuk pembentukan suatu protein yang fungsinya diperlukan di tingkat sel, jaringan, organ atau organisme secara keseluruhan. Molekul DNA membawa informasi hereditas dari sel dan komponen protein (molekul-molekul histon) dari kromosom mempunyai fungsi penting dalam pengemasan dan pengontrolan molekul DNA yang sangat panjang sehingga dapat muat didalam nukleus dan mudah diakses ketika dibutuhkan. Selama reproduksi, Jumlah kromosom yang haploid dan material genetik DNA hanya separoh dari masing-masing parental, dan disebut sebagai genom.

Dalam individu eukariotik (individu yang mempunyai nukleus sejati), kromosom manusia dibedakan menjadi autosom dan seks kromosom. Salah satu bagian kromosom-X yang tidak homolog dengan bagian dari kromosom-Y (Suryo, 1994).

Contoh Kasus


DAFTAR PUSTAKA

Suryo, 1994, Genetika Manusia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Guyton and Hall, 1996, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edk 9, trans. dr. Irawati Setiawan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Depp, S.S. and Motulsky, A.G., 2005, Red-Green Color Vision Defects, In GeneREVIEWS, September 19, 2005, dilihat 8 November 2008, .

Wikipedia, 2008, Color Blindness, dilihat 8 November 2008, .

Unite for Sight, 2008, Untie for Sight Color Blindness Module, <http://www.uniteforsight.org/course/colorblindness.php>.

Molecular Expressions, 2008, Human Vision and Color Perception, .

Indofarma n.d., Mata, dilihat 8 November 2008, .

Karina, Nina, 2007, Mengenal Lebih Dekat Buta Warna, dilihat 8 November 2008, .

Anonim n.d., Proses Penginderaan dan Persepsi, dilihat 8 November 2008, .

Fatchiyah dan Estri Laras Arumingtyas, 2006, Kromosom, Gen,DNA, Sinthesis Protein dan Regulasi, dilihat 8 November 2008, .

Read On