Mau Download Soal-soal SNMPTN atau SPMB?

0 comments Monday, May 11, 2009

Salah satu trik jitu untuk lulus SPMB atau SNMPTN (senam ptn) adalah dengan terus menerus mengasah kemampuan. Caranya...?

Kuasai metode-metode dasarnya terlebih dahulu, jangan sekali-kali langsung melihat rumus-rumus yang membingungkan. Karena jika kamu langsung mencoba soal yang rumit tanpa mengusasai rumus dasarnya terlebih dahulu,kamu akan kehilangan kepercayaan dirimu jika tidak bisa menemukan cara yang tepat.


Selanjutnya, yang paling penting adalah banyak mencoba-coba soal SPMB / SNMPTN tahun sebelumnya. Hal ini akan menambah wawasan kamu sekaligus melatih otak kamu untuk berpikir. Jangan lupa pakai batas waktu (kalau bisa 1 soal maksimal 30 detik), gitu...!!


Berikut adalah sebagian dari soal-soal dari yang kami dapatkan. Apabila teman-teman ada yang mempunyai soal SPMB / SNMPTN lainnya, silahkan mengirimnya ke genki_jin@yahoo.co.id. Terima kasih sekali atas kirimannya.Sankyuu Berimachi ….

__________________________

Soal SPMB tahun 2001:

content: IPA, IPS, Kemampuan Dasar

Pembahasan:

content: IPA, IPS, Kemampuan Dasar

Soal SPMB tahun 2002:

content: IPA, IPS, Kemampuan Dasar

Pembahasan:

content: IPA, IPS, Kemampuan Dasar

Soal SPMB tahun 2003:

content: N/A (maaf, soal tahun 2003 belum punya)

Pembahasan:

content: IPA, IPS, Kemampuan Dasar

Soal SPMB tahun 2004:

content: Matematika IPA, Matematika Dasar

Pembahasan:

content: Matematika IPA, Matematika Dasar

Soal SPMB tahun 2005:

content:Soal + Pembahasan (paket 1), Soal (paket 2)

Soal SPMB tahun 2006:

content: Soal (paket 1)

Soal SPMB tahun 2007:

content: IPA, IPS, Kemampuan Dasar


abpfimx75g

Read On

Perbedaan Respon Tubuh terhadap Obat

0 comments Friday, May 8, 2009

Dalam pengertian umum, obat adalah suatu substansi yang melalui efek kimianya membawa perubahan dalam fungsi biologik. Pada umumnya, molekul obat berinteraksi dengan molekul khusus dalam system biologik, yang berperan sebagai pengatur, disebut molekul reseptor (Katzung 1998, h. 2).

Genom manusia memiliki lebih dari 100.000 peptida produk gen yang berbeda dan kompleksitas kimiawi tiap peptida tersebut cukup untuk memberikan banyak tempat pengikatan yang berbeda-beda. Meskipun struktur kimiawi suatu obat memungkinkan untuk mengikat hanya satu jenis reseptor saja, proses-proses biokimiawi yang diatur reseptor tersebut akan terjadi di dalam sel yang multipel dan akan berikatan dengan banyak fungsi-fungsi biokimiawi lainnya, sebagai hasilnya, penderita dan dokternya mungkin mendapatkan lebih dari satu efek obat (Katzung 1998).

Oleh karena itu, suatu obat dapat menyebabkan beberapa efek spesifik. Efek yang terjadi pada pasien dapat berupa efek utama yang diinginkan. Namun, pada beberapa kasus, dapat muncul efek obat yang tidak diinginkan yang disebut toksisitas. Toksisitas tersebut dapat terjadi pada individu-individu tertentu yang memiliki respon obat yang berbeda-beda. Bahkan, individu dapat menunjukkan respons yang jarang terlihat pada kebanyakan penderita, yang disebut idiosinkrasi (Katzung 1998).

Variasi (Keanekaragaman) dalam Respons Tubuh terhadap Obat

Respons individu-individu terhadap suatu obat bisa sangat bervariasi; sesungguhnya, seorang individu dapat memberikan respons yang berlainan terhadap obat yang sama pada saat-saat yang berbeda selama masa pengobatan (Katzung 1998, h. 31).

Menurut Katzung (1998), variasi-variasi tersebut dapat berupa: perubahan dalam konsentrasi obat yang mencapai reseptor, variasi dalam konsentrasi dalam konsentrasi ligan reseptor endogen, perubahan dalam jumlah atau fungsi reseptor dan perubahan-perubahan komponen respons di sebelah distal reseptor.

Penyebab Variasi dalam Respons Obat

Menurut Katzung (1998, h. 60), pemberian dosis dan frekuensi untuk mencapai kadar obat yang efektif dalam darah dan jaringan bervariasi untuk penderita yang berlainan karena adanya perbedaan individual di dalam distribusi obat serta kecepatan metabolisme dan eliminasi obat. Perbedaan ini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

· Faktor-faktor genetik

· Faktor non-genetik, seperti umur, jenis kelamin, ukuran hati, fungsi hati, ritme circadian, suhu tubuh

· Faktor nutrisi dan lingkungan, seperti pemaparan bersamaan terhadap induser atau inhbitor terhadap metabolisme obat




HRZE sebagai terapi Tuberkulosis

Obat lintas pertama yang sering diberikan dalam pengobatan tuberkulosis adalah isoniazid, rimfapin, etambutanol, dan pirazinamid untuk terapi awal, dengan streptomisin sebagai terapi alternatif. (Katzung 1998, h. 737).

Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama karena sulit untuk membunuh kuman semi dorman. Terdapat 3 aktifitas anti tuberkulosis, yaitu:

1. Obat bakterisidal: INH, rifampisin, pirazinamid.

2. OAT dengan kemampuan sterilisasi: rifampisin, PZA.

3. OAT dengan kemampuan mencegah resistensi: rifampisin dan INH, sedangkan streptomisin dan etambutol kurang efektif (Bagian Ilmu Penyakit Paru FK Unair 2004 h. 22).

Biotransformasi Obat

Menurut Katzung (1998), semua reaksi biotransfomasi obat dapat dimasukkan dalam salah satu reaksi fase I atau reaksi II.

Reaksi fase I biasanya mengubah obat asal (parent drug) mejadi metabolit yang lebih polar dengan menambahkan atau melepaskan suatu gugusan fungsional (-OH, -NH, -SH). Metabolit ini sering bersifat tidak aktif, walaupun ada beberapa kedaan aktifitas obat hanya berubah saja. Jika metabolit reaksi fase I cukup polar, maka reaksi biasa dapat diekskresikan dengan mudah. Namun, banyak produk reaksi fase I tidak dieliminiasikan dengan cepat dan mengalami suatu reaksi selanjutnya dimana suatu substrat endogen seerti asam glukorat, asam sulfur, asam asetat, atau suatu asam amino akan berkombinasi dengan gugusan fungsioanal yang baru itu untuk membentuk suatu konyugat yang sangat polar. Reaksi konyugasi atau sintetik ini merupakan tanda dari metabolisme fase II. Berbagai macam obat mengalami reaksi-reaksi biotransformasi berantai ini, walaupun pada keadaan parent drug memang sudah memiliki suatu gugusan fungsional yang bisa membentuk suatu konyugat secara langsung (Katzung 1998, h. 53-54).

Interaksi antara Obat dan Senyawa-senyawa Endogen

Beberapa macam obat memerlukan konyugasi dengan substrat-substrat endogen seperti glutation, asam glukuronat, dan sulfat untuk inaktifasi mereka. Obat-obat yang berbeda bisa bersaingan untuk suatu substrat endogen yang sama, dan obat yang bereaksi cepat bisa secara efektis mengosongkan kadar substrat endogen dan mengganggu metabolisme obat yang bereaksi lambat. Jika obat belakangan tersebut memiliki suatu kurva dosis-respons yang curam atau suatu batas keamanan yang sangat sempit, maka bisa terjadi potensiasi efek farmakologi dan menyebabkan efek toksis (Katzung 1998, h. 63).

DAFTAR PUSTAKA

Bagian Ilmu Penyakt Paru FK Unair, 2004, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru, Editor: Hood Alsagaff et.al., Gramik FK Unair, Surabaya.

Katzung, Bertram G., 1997, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 6, Alih Bahasa: Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran UNSRI, Editor: Anwar Agoes, EGC, Jakarta.

Murray, Robert K., Daryl K. Granner, Peter A. Mayes, Victor W. Rodwell, 1999, Biokimia Harper, Edisi 24, Alih Bahasa: Andry Hartono, Editor: Alexander H. Santoso, EGC, Jakarta.

Read On

Buta Warna dan Penurunan Sifatnya (Kasus)

1 comments

Muchlis, seorang remaja berusia 19 tahun, gagal saat menjalani tes buta warna. Menurut informasi, kakak laki-laki, adik perempuan serta kedua orang tuanya tidak buta warna. Namun, kakek Muchlis juga menderita buta warna.

Pembahasan:

Buta warna adalah penyakit keturunan yang disebabkan oleh gen resesif c (color blind). Karena gennya terdapat dalam kromosom-X, sedangkan perempuan memiliki 2 kromosom-X, maka seorang perempuan dapat merupakan normal homozigotik (CC), normal heterozigotik (Cc), atau yang amat jarang dijumpai homozigotik (cc) sehingga menderita buta warna.

Sedangkan laki-laki hanya memiliki sebuah kromosom-X saja sehingga ia hanya dapat merupakan normal (C-) atau butawarna (c-).

Dari informasi yang ada, didapat bahwa kakek Muchlis menderita buta warna. Oleh karena itu, walaupun anak perempuan kakek Muchlis (ibu Muchlis) itu normal, tetapi dia adalah carrier gen resesif untuk butawarna. Karena ibu Muchlis kawin dengan ayah Muchlis yang normal, maka peluang memiliki anak buta warna adalah 25%.

Dari kasus ini tampak bahwa sifat ibu (yaitu buta warna) diwariskan kepada semua anak laki-laki. Cara mewariskan sifat keturunan demikian itu dinamakan cara mewariskan bersilang (Criss-cross inheritance) dan ini merupakan ciri khas bagi pewarisan gen-gen terangkai-X (X-linked genes).

Dasar Teori

Read On

Buta Warna dan Penurunan Sifatnya

0 comments


Telah diketahui bahwa individu itu mempunyai dua macam kromosom, yaitu autosom dan seks kromosom. Oleh karena individu betina dan jantan mempunyai autosom yang sama, maka sifat keturunan yang ditentukan oleh gen pada autosom diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya tanpa membedakan seks. Misalnya sifat keturunan seperti jari lebih, warna mata atau rambut dan albino dapat diwariskan, tetapi keturunan F1 maupun F2 tidak pernah disebut-sebut jenis kelaminnya.

Selain gen-gen autosom, dikenal pula gen-gen yang terdapat di dalam kromosom kelamin. Peristiwa ini dinamakan rangkai kelamin (sex linkage). Gen-gen yang terangkai pada kromosom kelamin dinamakan gen terangkai kelamin (sex-linkage genes). Adapun gen terangkai-X (X-linked genes) adalah gen yang terangkai pada kromosom-X dan gen terangkai-Y (Y-linked genes) adalah gen yang terangkai pada kromosom-Y (Surya, 1994).

Lebih dari 150 sifat keturunan kemungkinan besar disebabkan oleh gen-gen terangkai-X dikenal pada manusia. Kebanyakan disebabkan oleh gen resesif.

Buta Warna

Istilah Buta warna dapat diartikan sebagai suatu kelainan penglihatan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut pada retina mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu sehingga warna objek yang terlihat bukan warna yang sesungguhnya (Nina Karina, 2007).

Proses Penglihatan

Mula-mula cahaya masuk ke mata melalui pupil (biji mata), melewati kornea, lensa, dan bagian dalam dari bola mata langsung ke sel batang (bacillus) dan sel kerucut (conus) dari retina di bagian belakang bola mata. Transduksi energi fisik ke dalam reseptor potensial terjadi dalam basilus dan konus. Impuls-impuls syaraf kemudian menggerakkan sel lain dari retina, yaitu sel ganglion. Ganglion membawa impuls-impuls tentang kejadian visual dalam lingkungan bergerak ke otak sepanjang syaraf optik (Gunadarma).

Retina memiliki dua macam sel yaitu sel batang dan sel kerucut yang peka terhadap cahaya. Sel batang ini lebih peka pada malam hari dan juga warna hitam dan putih. Sedangkan sel kerucut lebih banyak bekerja pada siang hari yang peka terhadap berbagai warna. Sel kerucut ada 3 jenis yang masing-masing paling peka terhadap spektrum warna merah, hijau, dan biru (Nina Karina, 2007).

Apabila sel batang dan sel kerucut terangsang, sinyal akan dijalarkan melalui rangkaian sel syaraf dalam retina itu sendiri dan akhirnya ke dalam serabut syaraf optik dan korteks serebri (Guyton dan Hall, 1996).

Jenis-jenis Buta Warna

Buta warna dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu:

1. Buta warna jenis trikomasi adalah perubahan sensitifitas warna dari satu jenis atau lebih sel kerucut. Ada tiga macam trikomasi yaitu:

a. Protanomali yang merupakan kelemahan warna merah

b. Deuteromali yaitu kelemahan warna hijau

c. Tritanomali (low blue) yaitu kelemahan warna biru. Jenis buta warna inilah yang paling sering dialami dibandingkan jenis buta warna lainnya

2. Dikromasi merupakan tidak adanya satu dari 3 jenis sel kerucut, terdiri dari:

a. Protanopia yaitu tidak adanya sel kerucut warna merah sehingga kecerahan warna merah dan perpaduannya berkurang

b. Deuteranopia yaitu tidak adanya sel kerucut yang peka terhadap hijau

c. Tritanopia untuk warna biru.

3. Sedangkan monokromasi ditandai dengan hilangnya atau berkurangnya semua penglihatan warna, sehingga yang terlihat hanya putih dan hitam pada jenis typical dan sedikit warna pada jenis atypical. Jenis buta warna ini prevalensinya sangat jarang (Nina Karina, 2007).

Penyebab Buta Warna

Dua gen yang berhubungan dengan munculnya buta warna adalah OPN1LW (Opsin 1 Long Wave), yang menyandi pigmen merah dan OPN1MW (Opsin 1 Middle Wave), yang menyandi pigmen hijau (Samir S. Deeb dan Arno G. Motulsky, 2005).

Penyebab tersering buta warna adalah faktor keturunan, gangguan terjadi biasanya pada kedua mata, namun tidak memburuk seiring berjalannya usia. Penyebab lainnya adalah kelainan yang didapat selama kehidupannya, misalnya kecelakaan/trauma pada retina dan otak, umumnya kelainan hanya terjadi pada salah satu mata saja dan bisa mengalami penurunan fungsi seirng berjalannya waktu. Selain itu buta warna juga dapat disebabkan oleh Shaken Baby Syndrom (yang dapat menyebabkan kerusakan retina dan otak sehingga terjadilah buta warna) atau terkena radiasi sinar UV (tidak memakai pelindung) (wikipedia).

Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linked genes). Jadi kemungkinan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta warna secara turunan lebih besar dibandingkan wanita yang bergenotif XX untuk terkena buta warna. Jika hanya terkait pada salah satu kromosom X nya saja, wanita disebut carrier atau pembawa, yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak-anaknya. Menurut salah satu riset 5-8% pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta warna. Dan 99% penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia, dan deuteranopia (Nina Karina, 2007).

Diagnosis Buta Warna

Tes uji klinis yang umum digunakan untuk mendeteksi cacat buta warna adalah tes Ishihara dan tes American Optical HRR pseudoisochromatic.

Metode-metode ini dipakai untuk menentukan dengan cepat suatu kelainan buta warna didasarkan pada penggunaan kartu bertitik-titik dengan berbagai macam warna yang membentuk angka (Ishihara) dan simbol (HRR).

Sedangkan untuk melakukan klasifikasi pasti dari protanopia, deuteranopia, protanomali, dan deuteranomali memerlukan penggunaan dari anomaloscope yang melibatkan pemadanan warna (Samir S Deeb and Arno G Motulsky, 2005).

Penurunan Sifat

Gen adalah unit heriditas suatu organisme hidup. Gen ini dikode dalam material genetik organisme, yang kita kenal sebagai molekul DNA, atau RNA pada beberapa virus, dan ekspresinya dipengaruhi oleh lingkungan internal atau eksternal seperti perkembangan fisik atau perilaku dari organisme itu. Gen tersusun atas daerah urutan basa nukleotida baik yang mengkode suatu informasi genetik (coding-gene region as exon) dan juga daerah yang tidak mengkode informasi genetik (non-coding-gene region as intron), hal ini penting untuk pembentukan suatu protein yang fungsinya diperlukan di tingkat sel, jaringan, organ atau organisme secara keseluruhan. Molekul DNA membawa informasi hereditas dari sel dan komponen protein (molekul-molekul histon) dari kromosom mempunyai fungsi penting dalam pengemasan dan pengontrolan molekul DNA yang sangat panjang sehingga dapat muat didalam nukleus dan mudah diakses ketika dibutuhkan. Selama reproduksi, Jumlah kromosom yang haploid dan material genetik DNA hanya separoh dari masing-masing parental, dan disebut sebagai genom.

Dalam individu eukariotik (individu yang mempunyai nukleus sejati), kromosom manusia dibedakan menjadi autosom dan seks kromosom. Salah satu bagian kromosom-X yang tidak homolog dengan bagian dari kromosom-Y (Suryo, 1994).

Contoh Kasus


DAFTAR PUSTAKA

Suryo, 1994, Genetika Manusia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Guyton and Hall, 1996, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edk 9, trans. dr. Irawati Setiawan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Depp, S.S. and Motulsky, A.G., 2005, Red-Green Color Vision Defects, In GeneREVIEWS, September 19, 2005, dilihat 8 November 2008, .

Wikipedia, 2008, Color Blindness, dilihat 8 November 2008, .

Unite for Sight, 2008, Untie for Sight Color Blindness Module, <http://www.uniteforsight.org/course/colorblindness.php>.

Molecular Expressions, 2008, Human Vision and Color Perception, .

Indofarma n.d., Mata, dilihat 8 November 2008, .

Karina, Nina, 2007, Mengenal Lebih Dekat Buta Warna, dilihat 8 November 2008, .

Anonim n.d., Proses Penginderaan dan Persepsi, dilihat 8 November 2008, .

Fatchiyah dan Estri Laras Arumingtyas, 2006, Kromosom, Gen,DNA, Sinthesis Protein dan Regulasi, dilihat 8 November 2008, .

Read On

Chapter 1. Perjuangan untuk MENANG!

0 comments
Hidup kadang tidaklah sepahit yang kita rasakan. Bila kita cari-curi di baliknya, akan kita temukan banyak sekali hikmah. Dulu, semasa SD, aku termasuk anak dengan prestasi rata-rata. Seingatku, aku hanya mendapatkan peringkat 10 besar sekali….T_T

Alhamdulillah, secara “ajaib” setelah lulus SD aku berhasil menembus SMP favorit di kotaku…Meskipun nilaiku sudah hampir memasuki batas-batas ‘degradasi’… Bahkan, karena khawatir tidak bisa masuk ke SMP favorit tersebut, aku (diantar kakakku) terpaksa melamar ke sekolah lain.

Episode berlanjut, dan akhirnya di SMP aku di”bantai” habis-habisan oleh teman-temanku sekelas. Bahkan waktu kelas II, aku sempat menderita kekalahan telak berupa peringkat 10 besar (dari bawah tentunya). Mungkin hal ini disebabkan karena di kala itu waktu untuk bermain terlalu banyak dan longgar. Misalnya, jika ada jam pelajaran terakhir yang kosong, aku dan teman-teman langsung ‘nyerbu’ ke tempat permainan PS (PlayStation) terdekat.… Namun akhirnya, aku berhasil menemukan sedikit ritme permainanku waktu SMP kelas III. Buktinya, setelah lulus aku bisa masuk ke salah satu SMA favorit juga di kotaku, Hebat bukan…?
***
Kelas I SMA…Beberapa sahabatku waktu SMP kini menjadi teman kelasku. Namun, tidak banyak kejadian yang berkesan saat SMA kelas I kecuali pengalaman OSPEK yang ‘gila-gilaan’…..

Kelas II SMA, di sini aku dan teman-temanku mulai mengalami persaingan yang ‘aneh’. Hingga kini aku masih merasa heran, walaupun prestasiku tidak begitu meyakinkan, tapi beberapa kali aku dipilih untuk mengikuti seleksi OLIMPIADE…

Kelas III SMA…Dari sinilah perjuangan berat dan persaingan yang panas itu dimulai. Salah seorang temanku yang dulu ‘selevel’ denganku kini prestasinya merangkak (bahkan melompat) naik. Dialah yang kujadikan ‘RIVAL’. Merasa tersaingi, aku pun berusaha keras untuk mengunggulinya sampai titik darah penghabisan..Namun, pada akhirnya aku tak bisa melewatinya… akhirnya, dia (my rival) diterima di Teknik Nuklir UGM melalui Ujian Masuk UGM tahun 2007 sebelum pindah ke FK Unsoed tahun 2008.
***
Perjuanganku pun berlanjut untuk menghadapi The Biggest and Hottest Test in Indonesia, yakni UJIAN SPMB.. ;-(
To be continued…..
Read On

Kwahiorkor dan Marasmus Akibat Gizi Buruk (Kasus)

0 comments
Seorang anak buruh tani yang berumur 3 tahun diperiksakan ke Puskesmas dengan keluhan badan lemah, udem muka dan kedua ekstremitas inferior sejak 2 bulan. Berdasarkan laporan, sehari-hari dia makan dua kali dengan menu nasi dan sayur seadanya. Sejak dua tahun yang lalu anak tersebut mengalami diare kronis kalau minum susu formula yang mengandung laktosa. Konsistensi faeces cair, berbuih, keluar menyemprot, frekuensi 5-6x/hari dan dirawat di RS dengan diagnosis intoleran laktosa. Dari pemeriksaan fisik didapatkan rambut kemerahan, tumbuh jarang, mudah dicabut, dan tidak terasa sakit. Abdomen membuncit, ada pitting udem di ekstremitas inferior.

Pembahasan:
Gizi buruk tidak hanya disebabkan karena defisiensi kualitas nutrisi, tapi juga kualitas nutrisi. Pada hakekatnya sistem tubuh dapat berkembang dengan baik jika asupan nutriennya juga memadai. Karbohidrat, lemak, dan protein memegang peran penting dalam menjaga ketersediaan energi dalam tubuh. Ketiga zat gizi tersebut harus ada dalam keadaan proporsional.
Oleh karena itu, apabila bayi hanya diberikan karbohidrat saja atu lemak saja atau bahkan hanya protein saja, tidak akan memberikan efek signifikan terhadap tumbuh kembangnya. Hal ini dapat mengakibatkan defisiensi yang akut (Corwin, 2000).

Gejala penting yang menunjukkan kwashiorkor adalah hipoalbuminemia, edema, dan perlemakan hati. Hipoalbuminemia mencerminkan pasokan asam amino yang tidak memadai dari protein, sehingga mengganggu sintesis albumin serta protein lain (transferin) oleh hati. Edema disebabkan oleh tekanan osmotik yang rendah di dalam plasma sebagai akibat hipoalbuminemia. Sintesis protein plasma oleh hati juga menurun; keadaan ini pada gilirannya akan mengganggu pengaliran trigliserida dan lipid lain keluar dari hati sehingga terjadi perlemakan hati.

Sistem imun pada kekurangan kalori protein akan terganggu, khususnya fungsi sel T. Dengan demikian, penderita kekurangan kalori protein sangat rentan terhadap infeksi. (misal: sehingga menyebabkan diare), dan infeksi memperburuk keadaan lebih lanjut dengan meningkatkan kebutuhan metabolik, misal melalui demam. Kekurangan energi protein juga mengakibatkan sintesis enzim terganggu, misal enzim laktosa, maka timbulah intoleran laktosa karena defisiensi laktase.


Read On

Revisi Laporan Field Lab Kelompok 1

0 comments Friday, May 1, 2009

Seiring berkembangnya teknologi di bidang kedokteran, muncullah teknologi vaksin untuk mencegah penyakit infeksi yang masuk ke dalam tubuh (Bellanti, JA, 1993). Salah satu upaya pemberantasan penyakit menular tersebut seperti yang dikemukakan dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 mengenai “Paradigma Sehat” yaitu upaya pengebalan (imunisasi).
Bukti keberhasilan metode ini dalam mencegah penularan berbagai penyakit telah lama diakui. Pada tahun 1980 WHO menyatakan penyakit cacar telah dilenyapkan (Winulyo EB & Samsuridjal D, 2007). Demikian pula dengan polio yang dewasa ini sudah dapat dilenyapkan di banyak negara (Baratawidjaja, KG, 2006).
Untuk itulah, dilakukan kegiatan field lab yang dilakukan pada hari Kamis, 23 April 2009, di sana dilakukan kegiatan imunisasi di Puskesmas Sibela, Surakarta. Hasil laporan field lab tersebut dapat didownload di sini (khusus untuk kelompok 1 Fakultas Kedokteran UNS).


Untuk itulah, pada hari Kamis, 23 April 2009 dilakukan kegiatan field lab imunisasi di Puskesmas Sibela, Surakarta. Hasil laporan field lab tersebut dapat didownload di sini (khusus untuk kelompok 1 Fakultas Kedokteran UNS).

Read On