Diametes Mellitus


Seorang wanita (45 tahun) berat badan 45 kg, tinggi badan 156 cm, dengan keluhan sering kencing atau poliuria, kedua kaki terasa kesemutan (polineuropati) dan mata kabur. Riwayat penyakit sekarang: sejak 2 tahun yang lalu penderita merasakan sering kencing, banyak makan tetapi berat badan semakin kurus dan pernah berobat ke dokter katanya menderita diabetes insipidus. Anak laki-lakinya yang berusia 11 tahun menderita penyakit
diabetes melitus dan sekarang memakai insulin. Pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Hasil CT scan abdomen kesimpulan: kalsifikasi pada kelenjar pankreas. Laboratorium darah: gula darah puasa 256 mg/dl, kolesterol total 250 mg/dl, creatinine 2,0 mg/dl. Urine rutin: protein positip (+++), reduksi (+++).

__________________________________________
_________________________
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang disebabkan karena defisiensi insulin. Penyakit ini sering disebut dengan penyakit gula, karena gejala klasik berupa kelainan metabolisme glukosa pada tubuh.
Penyebabnya bermacam-macam, namun intinya adalah glukosa (yang berfungsi sebagai sumber energi bagi sel-sel tubuh) gagal masuk ke dalam sel tubuh. Ibaratkan sel adalah sebuah rumah. Untuk memasukkan glukosa ke dalam rumah tentu butuh
kunci yang tepat. Kunci yang dimaksud adalah insulin (enzim yang diproduksi oleh pankreas). Yang jadi masalah adalah ketika anak kunci insulin sudah tidak cocok lagi untuk membuka pintu rumah tersebut. Masalah lain ketika pabrik yang memproduksi insulin (pankreas-red) mengalami kerusakan alias bangkrut.

Akibat proses tersebut, terjadi kegagalan pemindahan glukosa dari plasma ke dalam sel. Hal ini menyebabkan sel tersebut mengalami kelaparan. Tubuh akan berespons seakan dalam keadaan puasa dengan stimulasi glikogenolisis (pemecahan cadangan glukosa), glukoneogenesis (pembentukan glukosa), dan lipolisis (pemecahan lemak) yang menghasilkan badan keton (Candrasoma & Taylor 2005, h. 622).
Selain itu, kelaparan sel ini mengakibatkan perangsangan hipotalamus lateral, yang merupakan pusat lapar atau pusat kenyang, sehingga membangkitkan perangsangan motorik penderita terhadap semua aktivitas dan khususnya perangsangan emosional untuk mencari makanan (Guyton & Hall 1997, h. 1114). Akibatnya tubuh menjadi sangat lapar, dan menyebabkan kondisi banyak makan. Keadaan ini disebut polifagia.
Glukosa yang diserap ketika makan tidak dimetabolisme dengan kecepatan normal sehingga terkumpul di dalam darrah (hiperglikemia) dan diekskresikan ke dalam urine (glikosuria). Glukosa di dalam urine selanjutnya menyebabkan diuresis osmotik sehingga meningkatkan produksi urine (poliuria).
Kehilangan cairan dan hiperglikemia meningkatkan osmolaritas plasma, yang merangsang pusat rasa haus (polidipsia) (Candrasoma & Taylor 2005, h. 622). Pusat rasa haus ini terletak di hipotalamus bagian lateral. Bila elektrolit yang terdapat dalam neuron di pusat ini atau di daerah yang berkaitan dengan hipotalamus menjadi sangat pekat, maka tubuh akan berkembang hasrat untuk minum air secukupnya untuk mengembalikan konsentrasi elektrolit dalam neuron pusat rasa hasa haus menjadi normal kembali (Guyton & Hall 1997, h. 936).
Apabila kadar glukosa serum sangat tinggi, keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya koma hiperosmolar non ketotik. Komplikasi ini meyebabkan angka mortalitas yang tinggi. Koma hiperosmolar ini diterapi dengan pemberian cairan secara agresif dan insulin (Candrasoma & Taylor 2005, h. 622).
Stimulasi penguraian protein untuk menyediakan asam amino bagi glukoneogenesis menyebabkan pengecilan otot dan penurunan berat badan (Candrasoma & Taylor 2005, h. 622).
Bila tidak ada insulin, maka semua aspek pemecahan lemak dan yang digunakan untuk menyediakan energi akan sangat meningkat. Hal ini menyebabkan timbulnya benda keton yang terlalu banyak di dalam aliran darah (ketonemia, ketosis) dan diekskresikan di dalam urine (ketonuria) (Candrasoma & Taylor 2005, h. 622). Selain itu, terjadinya metabolisme asam lemak yang abnormal dan disertai dengan adanya endapan kolesterol pada pembuluh darah juga dapat memicu terjadinya aterosklerosis. Akumulasi sorbitol pada jaringan saraf atau lensa mata yang diakibatkan karena ezim aldosa reduktase yang menghasilkan sorbitol karena kadar glukosa tinggi mengakibatkan munculnya polineuropati dan katarak (Candrasoma & Taylor 2005, h. 622). Manifestasi klinis retinopati berupa adanya mikroaneurisme (pelebaran sakular yang kecil) dari arteriol retina. Akibatnya terjadi pendarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina yang dapat mengakibatkan kebutaan (Price & Wilson 1991, h. 309).
Keadaan kekurangan insulin ini hampir tidak berpengaruh terhadap sel otak secara langsung. Hal ini disebabkan karena sel-sel otak bersifat permeabel terhadap glukosa dan dapat menggunakan glukosa tanpa perantaraan insulin. Namun, apabila kadar glukosa darah turun terlalu rendah (20 sampai 50 mg/dl), akan timbul gejala renjatan hipoglikemik, yang ditandai dengan adanya iritabilitas saraf progresif yang menyebabkan penderita menjadi pingsan, kejang dan bahkan dapat timbul koma (Guyton & Hall 1997, h. 1225).
Kerja fisik sedang atau berat yang membutuhkan glukosa yang besar juga tidak membutuhkan sejumlah besar insulin, karena serat otot yang bekerja menjadi permeabel terhadap glukosa bahkan pada keadaan tidak ada insulin akibat proses kontraksi itu sendiri (Guyton & Hall 1997, h. 1224). Hal ini merupakan alasan kenapa penderita DM disarankan untuk melakukan olahraga dan latihan jasmani.
Keadaan hiperglikemia yang menimbulkan penebalan difus membran basalis kapiler di seluruh tubuh, termasuk pada membran basal tubulus renalis. Keadaan ini meningkatkan permeabilitas terhadap cairan dan makromolekul protein. Membran dasar kapiler glomerolus yang bertugas memfiltrasi zat-zat yang masuk ke dalam ren mengalami kerusakan sehingga menyebabkan protein (yang sehausnya tidak dapat melewati membran dasar ini) menjadi lolos dan masuk ke dalam tubulus renalis dan ikut diekskresikan bersama urine. Hal ini menyebabkan munculnya protein dalam urine (proteinuria). Porteinuria ini merupakan manifestasi dini dari nefropati. Kalau fungsi nefron terus berkelanjutan, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia (Price & Wilson 1991, h. 309).

Pola kecacatan insulin tersebut dapat kemudian diturunkan pada anaknya, yang akhirnya menderita penyakit DM tipe I.

Terapi yang perlu dilakukan untuk mengendalikan penyakit DM berupa perencanaan makan, latihan jasmani, obat hipoglikemik, dan penyuluhan. Perencanaan makan termasuk melakukan diet kalori dengan perhitungan jumlah kalori. Sebelumnya dihitung terlebih dahulu berat badan ideal untuk menentukan jumlah kalori basal pasien. Cara termudah adalah perhitungan menurut Bocca:
BB ideal = 90%.(TB dalam cm – 100) kg
= 90% . (156 – 100) kg
= 90% . 56 kg
= 50,4 kg
Berat badan aktual = 45 kg (<50,4 kg), sehingga wanita tersebut tergolong dalam kategori kurus. Kemudian menghitung jebutuhan basal dengan mengalikan berat badan ideal dengan 30 kal/kg untuk laki-laki dan 25 kal/kg untuk wanita. Kenbutuhan kalori sebenarnya harus ditambah lagi sesuai dengan kegiatan sehari-hari (lampiran Tabel 3). Perhitungan Kalori: Kalori basal : 50,4 x 25 = 1260 kalori Koreksi: Umur > 40 tahun = -5 % x 1260 = - 63 kalori
Aktivitas (ringan) = + 20 % x 1260 = + 252 kalori
Berat badan (kurus) = + 20 % x 1260 = + 252 kalori
Total kebutuhan = 1701 kalori
Diet : DM 1701 kalori
Jadi, diet yang disarankan pada pasien DM tersebut adalah 1701 kalori.
Selain melakukan pengaturan makan, pasien DM juga dianjurkan melakukan latihan jasmani teratur. Apabila pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan jasmani dengan teratur tetapi kadar glukosanya masih belum baik, dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik (oral/suntikan) (Mansjoer et al. 2000, h. 585).

Keep healthy...


Sumber:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 1996, Jilid I, Edisi ketiga, Editor Kepala: Sjaifoellah Noer, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Chandrasoma, Parakrama & Clive R. Taylor, 2005, Patologi Anatomi, Edisi 2, Alih bahasa: Roem Soedoko et al., EGC, Jakarta.
Dorland, W.A. Newman, 2002, Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29, trans. Huriawati Hartanto, EGC, Jakarta.
Farmakologi Dasar dan Klinik, 2007, Edisi 5, Editor Kepala: Sulistia Gan Gunawan, Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran - Universitas Indnesia, Jakarta.
Guyton, Arthur C. & John E. Hall, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Editor: Irawati Setiawan, EGC, Jakarta.
Mansjoer et al., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, cetakan 1, Media Aesculapius, Jakarta.
Murray, Robert K., Daryl K. Granner, Peter A. Mayes, Victor W. Rodwell, 1999, Biokimia Harper, Edisi 24, Alih Bahasa: Andry Hartono, Editor: Alexander H. Santoso, EGC, Jakarta.
Price, Sylvia Anderson & Lorraine McCarty Wilson, 1991, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Edisi 2, Alih bahasa: Adji Dharma, EGC, Jakarta.
Rubenstein, David, David Wayne & John Bradley, 2007, Lecture Notes: Kedokteran Klinis, Edisi 6, trans. Annisa Rahmalia, Erlangga, Surabaya.




0 comments:

Post a Comment