Wanita Cantik Bergondok



Kasus:
Seorang wanita cantik (28 tahun) yang bertempat tinggal di daerah gondok endemis, mengeluhkan benjolan di leher depannya yang muncul sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan lain berupa banyak keringat, badan panas dan nyeri, suka hawa dingin, sering berdebar-debar, dan kedua
tangannya bergetar bila memegang sesuatu. Perlu diketahui bahwa anak tetangga pasien (10 tahun) menderita cretinism. Dalam pemeriksaan didapatkan nadi 110 kali/menit, mata exopthalmus, benjolan di leher konsistensi lunak, tidak nyeri dan mudah digerakkan, kadar TSHs<0,005>



Graves disease sebagai manifestasi gangguan autoimun. Hal ini ditandai dengan penurunan TSHs,
kenaikan fT4 dan fT3. Kelainan ini disebabkan adanya antibodi imunoglobulin (IgG) dalam serum. Antibodi ini bereaksi dengan reseptor TSH atau membran plasma tiroid. Akibatnya, interaksi antara antibodi dengan reseptor terebut merangsang fungsi tiroid untuk mensekresi hormon tiroid yang berupa tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) tanpa adanya rangsangan dari TSH hipofisis. Antibodi ini mungkin disebabkan karena suatu kelainan imunitas yang bersifat herediter yang memungkinkan kelompok limfosit tertentu dapat bertahan, berkembang biak dan mengsekresi imunoglobulin stimulator sebagai respon terhadap beberapa faktor perangsang (Price & Wilson 1991, h. 338). Adapun antigen yang berkaitan dengan limfosit diperintah dan diatur oleh gen-gen kompleks HLA (Human Leukocyte Antigen) (Dorland 2002, h. 124).


Gen inilah yang mungkin berperan dalam munculnya kelainan pada limfosit tersebut. Antibodi IgG yang disebut juga Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI) memiliki kemampuan untuk menyerupai tirotropin (TSH) melalui ikatan dengan reseptornya pada sel tiroid dan mengaktifkan adenilat siklase sehingga menyebabkan peningkatan kadar intraseluler cAMP. Bahan-bahan tersebut merangsang aktivasi terus menerus dari sistem cAMP dalam sel sehingga mengakibatkan sekresi hormon tiroid yang berlebihan, yang disebut hipertiroidisme. Antibodi ini memiliki efek perangsangan yang panjang pada hormon tiroid, yakni selama 12 jam. Hormon lain yang memiliki struktur yang identik dengan tirotropin (TSH) adalah human chorionic gonadotropin (hCG) (Dorland 2002, h. 940). Hormon ini dibentuk oleh plasenta yang penting untuk berlangsungnya kehamilan normal (Guyton & Hall 1997, h. 1310). Karena hormon ini memiliki struktur yang identik dengan TSH, maka hormon ini dapat berikatan juga dengan reseptor TSH sehingga dapat menimbulkan sekresi hormon tiroid. Oleh karena itu, wanita memiliki perevalensi yang lebih besar menderita penyakit Graves (wanita : pria = 5:1). Kelebihan hormon tiroid dalam plasma ini mengakibatkan adanya mekanisme umpan balik yang menekan pembentukan TSH oleh kelenjar hipofisis anterior. Akibatnya, konsentrasi TSH dalam plasma akan lebih kecil dari normal, dan seringkali nol. Eksoftalmus yang muncul juga dipercaya merupakan suatu proses autoimun. Hal ini disdukung oleh adanya bukti bahwa pada kebanyakan penderita, dapat ditemukan imunoglobulin yang bereaksi pada otot-otot mata (Guyton & Hall 1997, h. 1198).

Namun hal ini masih dalam perdebatan. Adanya konsentrasi hormon tiroid yang berlebih di dalam plasma menyebabkan adanya peningkatan berbagai mekanisme tubuh, yang mengakibatkan peningkatan suhu tubuh yang mengakkibatkan pasien tidak tahan panas dan lebih suka pada hawa yang dingin. Hal ini disebabkan hormon tiroid tersebut, bila dalam konsentrasi yang sangat tinggi dapat mengakibatkan mitokondria membengkak secara tidak teratur, dan kemudian terjadi uncoupling dari proses fosforilasi oksidatif dengan pembentukan sejumlah besar panas tetapi sedikit ATP. Peningkatan aktivitas enzimatik yang disebabkan peningkatan produksi hormon tiroid juga meningkatkan kekuatan denyut jantung. Peningkatan metabolisme dalam jaringan juga mempercepat pemakaian oksigen dan memperbanyak jumlah produk akhir dari metabolisme yang dilepaskan dari jaringan. Akibatnya, terjadi vasodilatasi pada sebagaian besar jaringan tubuh, sehingga meningkatkan aliran darah. Kecepatan aliran darah pada kulit terutama meningkat karena meningkatnya kebutuhan untuk pembuangan panas (Guyton & Hall 1997, h. 1193).

Keadaan ini menyebabkan pasien merasa sering berdebar-debar walaupun tidak melakukan aktivitas yang berat. Pengobatan yang paling langsung adalah dengan pengangkatan sebagian besar kelenjar tiroid melalui pembedahan. Pada umumnya, penderita perlu dipersiapkan sebelum dilakukan operasi pengangkatan kelenjar tersebut. Tindakan persiapan ini dilakukan dengan pemberian propiltiourasil, biasanya selama beberapa minggu, sampai kecepatan metabolisme basalnya sudah kembali normal. Selanjutnya, dilakukan pemberian iodida konsentrasi tinggi selama 1 sampai 2 minggu sebelum operasi agar ukuran kelenjarnya menyusut dan agar suplai darahnya berkurang. Namun operasi ini berisiko terjadinya
hipotiroidisme karena hilangnya/berkurangnya kelenjar yang memproduksi hormon tiroid, bahkan dapat mengakibatkan timbulnya krisis tiroid. Selain itu, ada risiko terangkatnya kelenjar paratiroid saat dilakukan pengangkatan kelenjar tiroid yang akan mempengaruhi metabolisme kalsium dalam tubuh. Sedangkan terjadinya cretinism yang terjadi pada anak tetangganya, disebabkan karena adanya kelainan hipotiroidisme. Hal ini mungkin disebabkan karena daerah tempat tinggalnya merupakan daerah gondok endemis, sehingga mengakibatkan kurangnya asupan iodium pada anak tersebut. Kekurangan iodium menyebabkan sekresi hormon tiroid menjadi terhambat. Akibatnya, tidak ada hormon yang dapat mengambat sekresi TSH, sehingga kelenjar hipofisis mensekresi banyak TSH. TSH menyebabkan sel-sel tiroid mensekresi banyak tiroglobulin (koloid) ke dalam folikel, dan kelenjarnya tumbuh semakin besar (Guyton & Hall 1997, h. 1199).


Link terkait: Struma sebagai Manifestasi Klinis dari Hipertiroidisme
Kelenjar Tiroid Penting untuk Tubuh Kita
Lampiran


DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 1996, Jilid I, Edisi ketiga, Editor Kepala: Sjaifoellah Noer, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Dorland, W.A. Newman, 2002, Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29, trans. Huriawati Hartanto, EGC, Jakarta.
Guyton, Arthur C. & John E. Hall, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Editor: Irawati Setiawan, EGC, Jakarta.
Mansjoer et al., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, cetakan 1, Media Aesculapius, Jakarta.
Price, Sylvia Anderson & Lorraine McCarty Wilson, 1991, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, Edisi 2, Alih bahasa: Adji Dharma, EGC, Jakarta.
Rubenstein, David, David Wayne & John Bradley, 2007, Lecture Notes: Kedokteran Klinis, Edisi 6, trans. Annisa Rahmalia, Erlangga, Surabaya.



0 comments:

Post a Comment